Senin, 29 November 2010

Oh Balikpapan . . . Sejarahmu Kini. . .


Oh Balikpapan . . . Sejarahmu Kini. . .[1]
Bij
Akhmad Ryan Pratama[2]

Balikpapan en Petroleum mij (Balikpapan dan Perusahaan Minyak)
Balikpapan  merupakan salah satu kota bersejarah di Kalimantan Timur, tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah kota ini tidak bisa terlepas dari aktivitas ekploitasi serta industri perminyakan yang memainkan peran strategis bagi roda perekonomian hingga kini.  Exsploitasi perminyakan sudah dimulai  sejak awal abad 19 yang ditandai dengan adanya pengeboran sumur minyak pertama di daerah konsensi Mathilda (Wilayah konsesi tersebut di sekitar daerah Jalan Minyak).
 Pembangunan Industri penyulingan minyak yang terletak di teluk Balikpapan memberikan suatu permulaan, yang kemudian akan menjadi awal dari perkembangan ke wilayah ke arah pedalaman (hinterland). Perluasan dan perkembangan wilayah juga akan memberikan suatu dinamika sosial, budaya, politik dan ekonomi dalam wilayah tersebut. Seperti adanya fasilitas hiburan, pembangunan jalanan, dan masuknya zending serta misionaris ke Balikpapan. Mobilitas penduduk juga terjadi di wilayah ini, dimana orang-orang Belanda juga memperkerjakan orang-orang yang mereka bawa dari pulau Jawa sbagai pegawai atau buruh pabrik rendahan. Seiring meningkatnya jumlah penduduk, maka lalu lintas pelayaran untuk mengekspor atau mengimpor komoditi juga akan semakin meningkat, dalam hal ini penulis beranggapan bahwa daerah di Kalimantan Timur, khususnya Balikpapan daerahnya kurang subur, sehingga tidak cocok untuk ditanami padi yang merupakan sumber bahan pangan pokok pada massa itu, selain itu KPM (Koninklijk Paketvaart Matschapij) perusahaan perkapalan milik pemerintah kolonial Hindia Belanda telah melayani rute Balikpapan[3]. Sehingga menurut hemat penulis maka pada masa ini telah terjadi arus bongkar muat barang, bahkan migrasi manusia yang diperlukan sebagai tenaga kerja untuk industrialisasi penyulingan minyak di Balikpapan.
Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda pembangunan infrastruktur lebih difokuskan untuk mempermudah jalannya industrialisasi minyak, sehingga pembangunan jalan serta pipa penyaluran minyak banyak dilakukan disepanjang garis pantai Balikpapan, bahkan instalasi tangki penyimpanan minyak serta pelabuhan penyaluran dibangun dalam satu komplek yang sama, sehingga memudahkan penyaluran terhadap kapal-kapal yang datang ke Balikpapan untuk mengangkut minyak, dan kemudian didistribusikan ke luar daerah.
Infrastruktur penyulingan minyak yang ada di Balikpapan dan Tarakan tersebut rupanya menarik perhatian Jepang, sehingga sebelum Jepang menguasai Jawa sebagai pusat dari pemerintah kolonial Hindia Belanda, Jepang memutuskan untuk mengamankan sumber vital ini, sehingga kebutuhan Jepang akan bahan bakar minyak pada saat perang berlangsung, dapat tercukupi[4]. Sebelum Infrastruktur produksi minyak di Balikpapan dan Tarakan dikuasai oleh Jepang, maka tentara KNIL beserta para pekerja BPM melakukan tindakan sabotase, sehingga tentara pendudukan Jepang tidak dapat memanfaatkan infrastruktur tersebut, dan gerakan dari tentara tersebut dapat diperlambat. Pada masa pendudukan Jepang ini juga terjadi bentuk pemaksaan dalam pengeksplotasian Minyak bumi. 
Balikpapan Jaman Jepang
Eksploitasi minyak serta pendudukan yang dilakukan Jepang secara tidak langsung, juga membawa dampak yang sangat besar terhadap keadaan sosial, ekonomi dan politk warga kota Balikpapan. Karena dengan adanya sumber vital dan strategis ini maka Jepang harus membuat pengamanan untuk menjaga sumber tersebut agar tidak disabotase atau jatuh ketangan tentara sekutu. Oleh karena itu Jepang juga melakukan serangkaian kerja paksa untuk membuat kubu-kubu pertahanan disekitar daerah pesisir Balikpapan, dimana terletak kilang minyak serta sumur minyaknya. Proses pemaksaan tersebut tentu saja juga mendapat resistensi lokal, walaupun resistensi atau proses perlawanan tersebut tidak sebesar di daerah lain.
Selain itu tentu terdapat perbedaan antara kebijakan yang pernah diterapkan oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan pemerintahan pendudukan Jepang. Adanya perbedaan kebijakan tersebut tentu saja berdampak terhadap kondisi sosial, ekonomi dan politik masayarakat kota Balikpapan. Karena itu diperlukan penelitian yang lebih lanjut  untuk dapat mengetahui kondisi sosial pada masa itu.
Hampir dapat dipastikan salah satu faktor yang mempengaruhi mengapa Jepang dapat dengan mudah menduduki wilayah di Indonesia, ialah karena organisasi propaganda Jepang (Sendenbu) melakukan pembentukan opini-opini ke masyarakat di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara bahwa, perang yang dilancarkan oleh Jepang merupakan suatu perang pembebasan untuk kemakmuran Asia Timur raya, oleh sebab itu maka seluruh rakyat Asia Timur Raya harus berhimpun dibawah pimpinan Jepang, untuk melenyapkan penjajahan yang dilakukan oleh orang kulit putih[5].  
Praktek eksploitasi minyak yang dilakukan oleh Jepang di Balikpapan, merupakan salah satu upaya bagi Jepang untuk memenuhi kebutuhan perangnya serta bahan baku atas industrinya. dengan adanya eksploitasi minyak tersebut maka telah terjadi suatu proses perubahan system sosial di dalam kota Balikpapan itu sendiri. Walaupun penulis juga menyadari bahwa eksploitasi minyak merupakan salah satu variabel yang berperan dalam perubahan sistem sosial tersebut, dan bukan satu-satunya faktor tunggal dalam perubahan sistem sosial tersebut.
            Pasukan Jepang juga mengoperasikan kembali kilang-kilang minyak di Balikpapan, Jepang juga menyadari bahwa, mereka harus mempertahankan kedudukan kilang-kilang minyak tersebut dari ancaman tentara sekutu. Oleh sebab itu Jepang mulai membangun suatu system pertahanan, hingga saat ini reruntuhan atau sisa-sisa kubu pertahanan Jepang dapat dilihat. Mengetahui bahwa mereka harus memprioritaskan pemenuhan kebutuhan perang mereka. Maka Jepang tidak memperhatikan keadaan sosial, serta ekonomi yang dialami oleh masyarakat Balikpapan pada masa itu.
            Perubahan sosialpun mulai terjadi, pada masa itu terjadi berbagai kesulitan yang dialami oleh warga kota, diantaranya kelaparan, wabah penyakit serta pemenuhan kebutuhan pokok yang sangat sulit sekali dipenuhi. Kondisi memprihatinkan yang dialami oleh masyarakat dan tawanan perang jepang ini diketahui, setelah pada Juli 1945, pasukan Australia berhasil merebut Balikpapan dari tangan Jepang.

Identitas Sejarah yang Memudar
            Balikpapan sebenarnya merupakan kota dengan sejarah yang cukup panjang, dan memainkan peranan yang sangat penting dalam 3 zaman, (yaitu zaman Kolonial Hindia Belanda, Zaman Jepang, serta pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia) dimana peran Balikpapan dengan industrialisasi minyaknya mampu menjadi magnet bagi para penguasa yang berkuasa pada zaman itu.
            Namun sejarah yang menceritakan identitas Balikpapan seakan-akan hilang ditelan zaman, hampir sebagaian besar masyarakat Balikpapan tidak mengetahui betapa penting peran kota mereka yang dinaratifkan dalam penulisan sejarah. Tidak adanya buku-buku yang mengungkapakan sejarah local mempercepat proses penghapusan identitas sejarah kota ini, muatan kurikulum sejarah local yang tidak mencantumkan riwayat sejarah Balikpapan seakan-akan semakin menjauhkan kalangan akademis muda dengan sejarah asal-usul kota mereka sendiri. keadaan semakin diperparah ketika berbagai situs bersejarah yang seakan-akan diabaikan oleh pemerintah kota dan masyarakat Balikpapan sendiri, sehingga situs-situs tersebut cenderung kehilangan nilai historis, bahkan beralih fungsi menjadi tempat muda-mudi Balikpapan memadu kasih.
            Badan arsip daerah dan perpustakaan yang baru dibukapun, seakan-akan tidak mampu bebuat banyak untuk menolong proses penghapusan identitas sejarah Balikpapan, bagaimana tidak, arsip yang seharusnya merupakan gudang informasi atau diibaratkan sebagai buku harian yang selalu mencatat segala perubahan yang terjadi, namun faktanya kota Balikpapan baru melakukan pengarsipan sejak tahun 2005. Sehingga kota yang konon didirikan sejak tahun 1897 ini kehilangan informasi penting selama lebih dari 100 tahun, apabila kita menghitungnya dari tahun kota ini lahir (1897) hingga tahun 2005.  
Konklusi
History cannot give us a program for the future, but it can give us a fuller understanding of ourselves, and of our common humanity, so that we can better face the future.
Robert Penn Warren
            Mengutip pernyataannya bung Karno yang sangat terkenal ‘Jas Merah’ jangan sekali-kali melupakan sejarah. Dalam pernyataan tersebut bung Karno menekankan hal yang sangat penting mengenai kedudukan sertan peran sejarah. Namun rupanya kutipan tersebut hanya sekedar kutipan tanpa makna. Balikpapan merupakan salah satu potret kecil dari banyak kota yang mengalami amnesia sejarah, disebabkan dinamika zaman yang lebih menekankan kearah pragmatisme, cepat atau lambat Balikpapan akan kehilangan identitas apabila para pemuda dari kota tersebut tidak memahami sejarah kota mereka sendiri. baik atau buruknya perkembangan kota Balikpapan tergantung dari peran pemuda Balikpapan itu sendiri. mengutip peribahasa latin yang terkenal Historia est vitae magistra yang berarti sejarah adalah guru kehidupan, maka tidaklah mengherankan bahwa orang yang akan maju ialah orang yang belajar dari sejarah, sehingga tidak mengulangi kesalahan yang akan terjadi di masa lalu, dan mampu memprediksi apa yang terjadi di masa yang akan datang.
“Wa’Allahua alam Bishawab”  




[1] Artikel ini disampaikan dalam diklat KPMB Surabaya pada tanggal 27 November 2010.
[2] Penulis merupakan Alumni SMA Negeri 1 Balikpapan, saat ini sedang menempuh skripsi di Departemen Ilmu Sejarah FIB, UNAIR.
[3] Lihat, Paulus,J. Encylopædie van Nedelandsch-Indië 1. (Leiden: N.V. E.J. Brill. 1918). hlm. 129. Dalam einsiklopedi tersebut dikatakan bahwa aktivitas bongkar muat serta arus pelayaran di Balikpapan cenderung meningkat, antara tahun 1913 hingga 1915. Pada tahun 1913 jumlah total barang yang diimpor masuk ke Balikpapan sebesar 1.853.893 M3, merupakan impor yang tertinggi di Kalimantan pada masa itu dibandingkan dengan residen Banjarmasin. Pada tahun 1915 arus barang yang masuk melalui aktivitas bongkar muat perkapalan mengalami peningkatan sebesar 2.002.442 M3.
[4] Lihat, Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda. (Jakarta: Gramedia, 1987).hlm.232.
[5] Hendri F. Isnaeni & Apid. Op.cit. hlm. 15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar