Sabtu, 11 Mei 2013

Perdagangan Dunia dan Perkembangan Kota di Hindia Belanda: Analisis Terhadap Perkembangan Kota Semarang dan Balikpapan


Perdagangan Dunia dan Perkembangan Kota di Hindia Belanda: Analisis Terhadap Perkembangan Kota Semarang dan Balikpapan
Membahas mengenai morfologi kota-kota di nusantara pada masa kolonial merupakan salah satu kajian yang sangat menarik, terlebih dengan adanya sebuah determinan ekonomi yang sangat berpengaruh bagi terbentuknya dan berkembangnya kota-kota kolonial. Menurut saya akan sangat penting apabila kita mengetahui tahapan fase-fase perkembangan kota colonial. Mengutip apa yang dikatakan oleh Peter J.M.Nas yang mengatakan bahwa perkembangan kota-kota di Indonesia terjadi dalam empat fase, yaitu[1]:
1. Permulaan Kota Tradisional di Indonesia, perkembangan kota pada masa ini masih bertahap pada perkembangan kosmologi yang bersifat tradisional dan terikat kepada nilai-nilai sosiokultural. Terdapat dua  tipe yang dapat membedakan kota Tradisional yang ditentukan oleh letak geografis kota tersebut, yaitu apabila kota tradisional tersebut terletak di Pedalaman maka berbasiskan kepada nilai-nilai religious dan Keraton memiliki peranan yang sangat penting, dan populasi pada umunya mayoritas bersifat homogeny. Namun apabila posisi geografis kota tersebut di pesisir pantai maka kota tersebut memiliki hubungan perdagangan yang kuat dengan daerah lain, sehingga komposisi etnisnya lebih heterogen.
2. Pada tahap berikutnya ialah kota-kota tersebut berkembang menjadi kota-kota Hindia yang dimulai ketika Belanda datang ke Nusantara, dan berhasil menahklukkan kota tersebut dari penguasa local dan kemudian mulai merubah tata kotanya. Kata-kata Hindia disini digunakan oleh Wertheim untuk merujuk kepada perpaduan atau percampuran kedua kebudayaan antara Belanda dengan Hindia (pribumi). Pada mulanya kota-kota ini dibangun dengan konsep langsung dari Belanda, seperti Batavia yang dibangun berdasarkan konsep kota Amsterdam, dan kemudian mulai melakukan penyesuaian dengan menggambungkan konsep-konsep local, seperti penggunaan struktur atap yang berbentuk Piramid yang jugadigunakan pada rumah-rumah Jawa.
3. Fase ketiga ialah perkembangan menjadi kota kolonial, fase ini terjadi setelah adanya liberalisasi ekonomi di Indonesia pada tahun 1870. Adanya kebijakan tersebut menarik banyak orang-orang Belanda untuk datang ke Indonesia dan mencoba peruntungan untuk memperbaiki perekonomian. Pembangunan sarana infrasturkutur transportasi seperti pembangunan jalan, rel kereta api, pelabuhan beserta fasilitas pergudangannya semakin di gencarkan. Pembangunan tersebut dilaksanakan untuk mendukung kegiatan ekspor komoditas perkebunan pada masa itu seperti gula. Munculnya kelas-kelas kaya baik dari kalangan Eropa dan Timur Asing, serta elit-elit pribumi turut mempengaruhi perkembangan pemukiman yang berdampak pada perubahan tata kota, dimana kelas-kelas tersebut menempati bangunan berasiktektur Eropa dan menempati kawasan pemukiman sendiri yang tidak bercampur dengan perkampungan pribumi.
4.  Fase terakhir ialah perkembangan kota-kota modern yang terjadi setelah kekuasaan Kolonial mulai runtuh, permasalahan yang timbul dalam perkembangan kota-kota modern ialah perencanaan pembangunan kota yang mulai berhadapan dengan permasalahan urbanisasi yang sangat pesat. Pada masa ini kota-kota modern tersebut berusaha untuk melepaskan simbol-simbol colonial yang masih ada.      
Semarang dan Booming hasil Perkebunan
            Artikel yang ditulis oleh Theo Stevens, yang berjudul Semarang, Central Java and The World Market 1870 – 1900, memberikan suatu perspektif baru mengenai perkembangan kota Semarang. Apa yang diungkapkan oleh Stevens cukup menarik ketika Semarang mengalami perkembangan yang signifikan ketika politik ekonomi Liberal mulai diterapkan oleh pemerintah colonial. Menurut Stevens Semarang menuai berkah akibat ekonomi liberal dikarenakan Semarang dijadikan sebagai pelabuhan untuk mengekspor hasil-hasil perkebunan dari wilayah Jawa Tengah. Sehingga pembangunan infrastruktur transportasi seperti rel kereta api serta pembangunan fasilitas pergudangan di Semarang juga di prioritaskan, untuk menganggkut hasil-hasil perkebunan dari wilayah pedalaman.
            Adanya peningkatan perekonomian tersebut akhirnya juga menimbulkan kelas-kelas borjuis baru yang terdiri dari orang-orang Eropa dan Tionghoa, dimana mereka tinggal dikawasan khusus di semarang yang dapat diliohat dari arsitektur bangunan yang mereka tempati, dimana gaya bangunan Eropa masih dapat terlihat mencolok dan menjadi pembeda dengan bangunan kelas menengah kebawah yang tinggal di kampong-kampung. Secara keseluruhan Steven melihat bahwa factor utama perkembangan kota di Semarang ialah karena peningkatan ekonomi setelah politik ekonomi liberal dilakukan, walaupun saya melihat masih ada determinasi lain yang belum diungkapkan.     
Balikpapan dan Booming Minyak
            Pola peningkatan pembangunan infrastruktur seperti kota Semarang juga terjadi di Balikpapan dimana kota tersebut berkembang pesat setelah minyak bumi ditemukan dan dibangunnya pusat penyulingan minyak untuk keresidenan Kalimantan Tenggara.
Keresidenan Kalimantan Tenggara merupakan salah satu daerah di luar Jawa yang mengalami perubahan komoditas ekspor. Pada awal tahun 1900an komoditas utama dari keresidenan Kalimantan Tenggara ialah getah pertjah, rotan, dan tembakau. Munculnya minyak bumi yang merupakan komoditas baru telah menggeser posisi getah pertjah sebagai komoditas ekspor utama dari Kalimantan Tengara. Kondisi ini berlangsung pada awal tahun 1910 hingga menjelang Perang Dunia II. Produksi Minyak bumi baik yang telah diolah ataupun masih berupa minyak mentah mampu memberikan kontribusi rata-rata lebih dari 50% dari nilai total ekspor Kalimanatan Tenggara. 
            Pusat penyulingan minyak mentah di Kalimantan Tenggara terletak di Balikpapan. Kilang tersebut menyuling minyak yang berasal dari daerah-daerah konsesi minyak di sekitar Balikpapan. Pada awalnya terdapat 3 konsesi yang menyuplai kebutuhan minyak mentah untuk disuling di kilang minyak Balikpapan. Ketiga konsesi tersebut ialah konsesi Mathilde yang terletak di sekitar teluk Balikpapan, konsesi Louise yang terletak di daerah Sanga-Sanga sebelah selatan Samarinda, dan konsesi terakhir ialah konsesi Nonny yang terletak di sebelah timur konsesi Mathilde.
Pembuatan penampungan serta penyulingan minyak segera dilakukan di sekitar teluk Balikpapan untuk menampung hasil produksi minyak mentah dari lapangan-lapangan minyak di daerah Balikpapan dan Sanga-Sanga. Penggabungan antara Shell dengan Royal Dutch menyebabkan proses produksi dan pengilangan di Balikpapan diserahkan kepada anak perusahaan Royal Dutch Shell yaitu BPM. Peningkatan permintaan minyak setelah Perang Dunia I berimbas pada peningkatan produksi di kilang minyak Balikpapan. Peningkatan produksi dilakukan dengan membangun jaringan pipa minyak dari kilang minyak Balikpapan hingga lapanga-lapangan minyak yang berada di daerah Samboja dan Sanga-Sanga.
Pembangunan fasilitas kilang minyak juga dilakukan seperti penambahan serta modernisasi mesin-mesin destilasi untuk menghasilkan produk minyak dengan kualitas yang semakin baik. Infrastruktur pendukung industri minyak juga mulai ditingkatkan, seperti adanya penambahan fasilitas pergudangan di pelabuhan,  pembangunan jalur telegram, perluasan pemukiman pekerja minyak beserta fasilitas pendukungnya, adanya pembangunan sarana transportasi baik itu berupa jalan, lapangan terbang serta pembangkit listrik. Pembangunan berbagai infrastruktur pendukung industri minyak tersebut menyebabkan wilayah Balikpapan tumbuh sebagai salah satu wilayah yang ramai di Kalimantan Timur.
Konklusi
            Perkembangan kota-kota kolonial setelah terjadinya liberalisasi ekonomi di Hindia Belanda setelah tahun 1870 memperlihatkan perkembangan yang sangat signifikan, seperti meningkatnya pembangunan infrastruktur transportasi yang berhubungan dengan perdagangan internasional. Timbulnya pemukiman elit-elit eropa, timur asing dan pribumi yang memarginalkan wilayah pemukiman mereka dari kampong-kampung pribumi yang mayoritas dihuni oleh pedagang dan tuan tanah pemilik kebun. Pemukiman elit tersebut timbul sebagai akibat dari kemampanan ekonomi yang mereka dapatkan akibat perdagangan internasional. Namun apa yang terjadi di Balikpapan sedikit berbeda walau terjadi pola pemukiman yang sama, dimana elit-elit eropa menghuni pemukiman yang terpisah dari kampong-kampung pribumi namun para penghuni pemukiman elit tersebut sebagaian besar merupakan pegawai-pegawai tinggi perusahaan BPM di Balikpapan.
            Terdapat kesamaan yang terjadi dengan kedua kota tersebut, yaitu bagaimana perekonomian Semarang dan Balikpapan, yaitu kedua kota tersebut memiliki pondasi ekonomi dengan menghubungkan kegiatan perekonomian mereka dengan perekonomian dunia, sehingga ketika terjadi depresi ekonomi di tahun 1930 kedua kota tersebut juga cukup terpengaruh dengan adanya kemunduran ekonomi tersebut, dimana mulai timbulnya pengangguran akibat pabrik-pabrik berhenti beroperasi dan harga-harga komoditas pokok yang mulai naik, sehingga timbullah inflasi yang cukup tinggi.   
Sumber Bacaan
Nas, Peter.J.M. The Indonesian City: Studies in Urban Development and Planning. Dordrecth: Floris Publication, 1986. [Verhandelingen KITLV 117]
Pratama, Akhmad Ryan. Industri Minyak Balikpapan Dalam Dinamika Kepentingan Sejak Pendirian Hingga Proses Nasionalisasi. Malang: Penerbit Univ Neg Malang, 2012.


[1] Peter J.M. Nas. The Indonesian Cities: Studies in Urban Development and Planning. (Dordrecht: Foris Publication, 1986). [Verhandelingen KILTV 117], hlm. 5 – 13.  

Rabu, 30 Januari 2013

Berusaha Menenangkan Alam: Historiografi Lingkungan Dalam Dinamika dan Perkembangannya



 

“Lucien Febvre use to say ‘history is man.’ I on the other hand
say: ‘history is man and everything else’. Everything is history:
soil, climate, geological movements.”
(Fernand Braudel, 1984, apud Moore, 2003, p. 431)

Pendahuluan
            Saya tergugah untuk menuliskan historiografi lingkungan ketika membaca artikel disebuah surat kabar mengenai keadaan penataan rekonstruksi sebuah kota di provinsi Aceh yang tidak belajar dari tsunami yang terjadi pada tahun 2006. Ratusan rumah dibangun kembali di lokasi yang sama pada saat gelombang tsunami mampu menjangkau tempat tersebut. Menurut analisis dari seorang ahli mitigasi bencana yang dituliskan dalam koran tersebut ternyata proses rekonstruksi tempat tersebut tidak belajar dari pengalaman sebelumnya, kemudian ia membandingkan bagaimana rekonstruksi pasca bencana yang dilakukan oleh Jepang  yang tidak melakukan konstruksi bangunan ditempat-tempat yang pada saat itu telah tercapai Tsunami, Jepang merelokasi semua warga dari tempat rawan bencana tersebut. Ahli tersebut juga berujuar bahwa ketika Jepang melakukan rencana untuk rekonstruksi pasca bencana alam, puluhan ahli dari berbagai disiplin ilmu, termasuk sejarah, dan ilmu-ilmu budaya dikumpulkan untuk merumuskan konsep rekonstruksi yang tepat dan manusiawi.
            Lingkungan memiliki kekuatan besar dalam mempengaruhi kehidupan sosial dan kultural masyarakat yang tinggal didalamnya, sehingga Boomgard juga mengatakan pendapatnya mengenai daya dukung lingkungan terutama air terhadap manusia:
Water from rivers and lakes, if clean, is a life-giving force. It produces good drinking water, and in the past has enabled the ‘Malays’ to bathe frequently something they availed themselves with enthusiasm. However, pollution of inland water turns these advantages into evident disadvantages, and it would appear that not all riverine people have made this transition to a policy of water evidence.[1]  

            Apa yang dikatakan oleh Boomgard mengandung makna yang cukup jelas, bagaimana lingkungan khususnya air dapat dianalogikan sebagai sebuah pedang bermata dua. Apabila manusia bisa bijak memanfaatkan alam serta tidak berlebihan, maka alam akan memberikan manfaat atau keuntungan bagi manusia. Namun bila manusia hanya melakukan perusakan melebihi batas toleransi dari lingkungan itu sendiri, maka manfaat tersebut berubah menjadi kerugian dan malapetaka. Seperti yang dituliskan oleh harian Kompas, dengan tajuk yang sangat menarik yaitu, “Ibu Kota Tanpa Harapan”, harian Kompas rupanya berupaya untuk melaporkan bagaimana situasi ibukota yang mungkin tidak bisa memenuhi harapan warganya untuk dapat hidup dengan nyaman dan harmoni bersama alam dikarenaka banjir hampir terjadi di seluruh tempat di Jakarta. Banjir di Jakarta disebabkan adanya kesalahan pengelolaan dalam perencanaan tata ruang, kondisi ini juga diperparah dengan kebiasaan masyarakat yang tidak memperhatikan lingkungan.[2]
            Paparan fakta yang disebutkan diatas juga sudah cukup untuk menjadi bukti bahwa kajian sejarah yang mencakup interaksi antara manusia diperlukan untuk memprediksi apa yang terjadi di masa depan, dan bagaimana mengatasi permasalahan-permasalahan lingkungan diatas. Adanya pemaparan fakta mengenai bencana lingkungan yang kebanyakan disebabkan ulah manusia akibat gaya hidup “modernya” membuat adanya suatu asumsi yang mengatakan bagaimana keadaan manusia sebelum adanya modernisasi dalam kehidupan mereka?. Dalam pengertian ini apahkah gaya hidup modern manusia telah merusak alam?, dan bagaimana gaya hidup manusia yang pada masa lalu masih tradisional dimana kerusakan alam dapat ditekan seminimal mungkin. Apahkah era keemasan manusia ketika mereka dapat menjaga keseimbangan dan harmonisasi dengan alam telah berakhir?.
            Pertanyaan-pertanyaan tersebut akhirnyan mengusik perhatian dari seorang sejarawan lingkungan bernama Donald Worster, “daripada mengkonsep bagaimana terbentuknya masa lalu, lebih baik kita mempelajari bagaimana manusia terpengaruh dengan kondisi lingkunganya sepanjang masa, dan bagaimana manusia mempengaruhi lingkungan dan apa pengaruhnya?.[3] Sudah sepantasnya sejarah lingkungan menjadi sangat penting dilakukan, mengingat lingkungan selalu berdampak pada segala aspek kehidupan sosial, budaya serta politik manusia. Diharapkan tulisan ini dapat menjelaskan sedikitnya mengenai apa itu sejarah lingkungan, apa objek kajian dari sejarah lingkungan itu sendiri, dan bagaimana perkembangan penulisan historiografi lingkungan yang mengambil objek penelitian di kawasan Indonesia yang merupakan salah satu kawasan didunia yang memiliki keanekaragaman hayati yang paling kompleks. Apalagi setelah pada dekade antara tahun 1970an hingga decade 1980an ketika orde baru berkuasa mereka menggunakan politik eksploitasi alam yang sangat kuat untuk mendapatkan uang dengan cara cepat, karena itu laju kerusakan alam (terutama hutan) di Indonesia merupakan salah satu yang tercepat di Asean dan dunia.[4] Indonesia masuk dalam kategori bahaya lingkungan, dan apabila kerusakan lingkungan tersebut tidak segera dihentikan dan ditangani maka akan membahayakan masyarakat dan perekonomian nasional, seperti yang diketahui keruskana lingkungan cenderung mendorong terjadinya bencana alam. Apabila bencana alam yang diakibatkan ulah manusia terjadi maka akan menyebabkan kerugian secara jiwa, dan ekonomi. Itulah yang menjadi alasan kuat bagi saya untuk menegaskan pentingnya historiografi lingkungan bagi Indonesia.



Definisi sejarah Lingkungan
            Tidak ada definisi yang pasti mengenai apa itu sejarah lingkungan, namun sejarah lingkungan berasal dari hasil-hasil studi para naturalis Inggris pada abad XVIII, pada masa itu tidak ada pembedaan antara keingintahuan terhadap sejarah dan lingkungan. Semunya berjalan dalam sebuah wadah yang sama[5], sehingga apabila seorang naturalis akan melakukan penelitian mengenai alam maka ia juga akan meneliti mengenai sejarah disekitar lingkungan yang diteliti. Dalam perjalanannya apa yang disebut dengan ‘natural history’ akhirnya harus terpecah menjadi sebuah spesialisasi sendiri. Sejarah menjadi sebuah pekerjaan yang lebih mementingkan pengejaran data-data dalam bentuk arsip semata yang dikerjakan oleh ilmuwan-ilmuwan perkotaan. Namun terdapat beberapa kelompok yang akhirnya berbicara dengan mengedepankan beberapa fakta keras, seperti persediaan pangan, suplai energy, dan teknologi peradaban, lebih lanjut sekelompok ilmuwan tersebut akhirnya membicarakan apa yang disebut dengan ‘environmental history’ atau sejarah lingkungan.[6]
            Kebanyakan ilmuwan dan sejarawan memandang bahwa sejarah lingkungan merupakan penjelasan mengenai interaksi antara manusia dengan alam pada masa lalu. Berdasarkan pendapat Timo Myllyntaus, terdapat 5 hal yang dapat membedakan kajian sejarah lingkungan dengan kajian lainnya. Pertama ialah kajian sejarah lingkungan memfokuskan pada perubahan jangka panjang pada lingkungan. Kedua perspektif dari kajian sejarah lingkungan tidak terikat hanya pada batas-batas administrasi negara, namun kajian sejarah lingkungan selalu terhubung dengan dunia international, atau bisa juga lintas negara. ketiga kajian sejarah lingkungan memiliki tendensi untuk memecahkan permasalahan, karena menggunakan berbagai macam pendekatan terutama ilmu pengetahuan alam. Keempat kajian sejarah lingkungan berorientasi untuk mencari permasalahan antara sejarah yang bersifat luas (lingkungan) dan aspek dimensi sosial yang merupakan suatu refleksi  dari kajian sejarah lingkungan di Amerika Utara dimana pada saat itu sejarah lingkungan merupakan sebuah gerakan yang mencerminkan preservasi dan konservasi terhadap lingkungan. Terakhir sejarah lingkungan memiliki tendensi untuk merefleksikan pandangan kita terhadap masa lalu.[7]
            Label sejarah lingkungan ternyata juga disematkan oleh ahli-ahli antropologi. Hanya saja mereka menyebutnya dengan sejarah ekologi, namun definisi itu menjadi sebuah perdebatan dikalangan ahli hingga saat ini. Seperti yang diungkapkan oleh Carole Crumley menyamakan bahwa sejarah lingkungan sama dengan sejarah ‘landscape’. Ia berpendapat bahwa studi sejarah lingkungan merupakan kajian mengenai ekosistem dimasa lalu dengan melihat perubahan yang terjadi dilingkungan dari masa lalu hingga saat ini, dan melihat relasi dialektika antara tingkah manusia dan bagaimana alam bereaksi, kedua objek ini harus diobservasi sebagai bagaian dari kesatuan ‘landscape’.[8]
            Sementara William Balee berpendapat bahwa focus dari kajian sejarah ekologi ialah interpenetrasi terhadap kebudayaan dan lingkungan, ketimbangn bagaimana manusia dapat beradaptasi dengan lingkungannya. William Balee menyimpulkan terdapat 4 wilayah dari definisi kajian lingkungan. Pertama ialah bagaimana aktivitas manusia berdampak cukup besar atau tidak pada lingkungannya. Kedua ialah bagaimana aktivitas manusia mengurangi atau meningkatkan kualitas lingkungannya. Ketiga ialah bagaimana kebijakan ekonomi politik memiliki berbagai macam efek terhadap lingkungan dan imajinasi sejarah sebagai bagian dari politik ekonomi. Keempat ialah bagaimana komunitas manusia, kebudayaan, landskap dan wilayah dapat dipahami sebagai kesatuan dari sebuah fenomena.[9]
            Peter Boomgard mengatakan bahwa sejarah lingkungan atau sejarah ekologi merupakan sebuah spesialisasi baru dalam kajian sejarah di Indonesia. Memang benar apabilah sejarah lingkungan mengandung kajian-kajian dari sejarah agrikulutr, sejarah demografi, dan sejarah lingkungan. Namun yang baru dari kajian sejarah lingkungan di Indonesia bagaimana usaha sejarawan untuk mengumpulkan arsip-arsip dan publikasi sebagai data sekunder. Selain itu sejarawan yang akan membahas sejarah lingkungan harus mencari sebuah penjelasan teoritis mengenai perkembangan yang terjadi dimasa lalu dimana kadangkala perhatian ini luput dari sejarawan, karena mereka tidak memiliki landasan teoritis dan kerangka konsep yang jelas mengenai kajian sejarah lingkungan. Kebanyakan mereka membangun kerangka konsep serta teori berdasarkan pengamatan terhadap perubahan lingkungan saat ini.[10]
Kapita Selekta Historiografi Lingkungan
`           Pembicaraan mengenai sejarah lingkungan sebenarnya sudah disinggung dalam perkuliahan Historiografi yang diampu oleh Sri Margana, dalam perkuliahan tersebut disinggung mengenai sebuah buku yang ditulis oleh Mary Catherine Quilty, yang berjudul Textual Empires: A Reading of Early British Histories of Southeast Asia. Dalam buku itu terutama bab 1 yang berjudul Natural Histories digambarkan bagaimana sebuah historiografi lingkungan yang dilakukan oleh kedua orang Naturalis berkebangsaan Inggris pada awal abad XIX, yaitu Raflles dan Marsden.  Marsden yang akhirnya menghasilkan sebuah karya yang berjudul History of Sumatra dan ia dianggap sebagai seorang inisiator bagi orang-orang eropa (khususnya Inggris) untuk mengetahui mengenai Asia Tenggara lebih detail lagi.
            Buku History of Sumatra karya Marsden pada masa itu dijadikan sebagai sebuah model mengenai pembelajaran bagaimana menuliskan sebuah monografi mengenai sebuah sejarah, bahasa, adat istiadat, dan bagaimana mengumpulkan data-data statitistik tersebut dari beberapa negara.[11] Apa yang telah dilakukan oleh Marsden, Apahkah bisa dianggap sebagai dasar bagi ilmuwan-ilmuwan pada masa itu untuk kemudian menggunakan model tersebut dalam melakukan kajian terhadap Asia Tenggara beserta lingkungannya? Terdapat 3 kategori bagaimana tulisan Marsden tersebut dapat disebut sebagai tulisan scientific. Pertama ialah bagaimana ia melakukan sebuah observasi, kedua ialah bagaimana Marsden hanya mempresentasikan atau menyajikan data-data yang esensial dan ketiga serta terakhir ialah bagaimana Marsden mempunyai alasan yang kuat untuk melakukan saintifikasi.[12] Dalam History of Sumatra memang terlihat Marsden hanya memberikan mengenai gambaran keadaan geografi dan ekologi di Sumatra, seperti bagaimana Marsden menuliskan mengenai jumlah flora dan fauna yang ada di Sumatra, bagaimana Marsden juga menuliskan mengenai hewan-hewan apa saja yang ada didalam suatu rawa-rawa yang ia lihat. Apa yang dilakukan oleh Marsden terkesan hanya melaporkan hasil observasi yang telah ia lakukan, walaupun demikian hasil kerja Marsden memberikan sebuah landasan yang paling penting mengenai keberhasilan naturalis dalam menyingkap tabir alam di Sumatra, yaitu dengan melakukan eksplanasi casualitas terhadap objek observasinya, apabila terdapat gejala terhadap objek yang ia observasi dan tidak dapat dijelaskan secara casualitas maka ia akan memberikan pengecualian terhadap objek itu agar tidak ditulis. Secara keseluruhan History of Sumatra yang ditulis oleh Marsden merupakan sebuah simbol kesuksesan manusia (Bangsa Inggris) dalam menahklukkan tantangan “alam” yang ada di Sumatra Barat.[13]  Tantangan “alam” disini menurut saya bukan hanya merujuk pada keadaan geografis saja, tetapi alam disini merupakan kesatuan ekosistem beserta manusianya (suku-suku yang ada di Sumatra). Karena Marsdem pada masa itu berada di Sumatra untuk menstabilkan rute perdagangan Inggris, sehingga menurut saya pengamatan yang dilakukan oleh Marsdem tidak semata-mata untuk memenuhi tuntutan keingintahuan seorang naturalis terhadap alam, namun juga bagaimana menganalisis sebuah lingkungan dan manusianya, kemudian menyusun sebuah permasalahan atau tantangan yang dihadapi Marsdem dalam menstabilkan perdagangan tersebut dan kemudian mencari cara bagaimana mengatasinya. Seperti contoh bagaimana Marsden bisa menganalisis arah angin untuk keselamatan kapal-kapal kargonya.
            Tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh Marsden,  Raflles dalam bukunya history of java, dalam buku tersebut Raflles tidak hanya mempelajari mengenai lingkungan yang ada di Indonesia, sebagaimana Raflles mendata jenis flora-fauna serta nama-nama gunung yang ada di Indonesia. Namun Raflles juga menggunakan pendekatan antropologi dalam menuliskan mengenai keadaan masyarakat yang ada dalam lingkungan tersebut. Raflles juga menggunakan sumber-sumber local dalam penyusunan buku tersebut, sehingga menjadikan buku tersebut kaya akan data-data mengenai hubungan antara alam dan manusianya.
            Para sarjana Belanda yang dimotori oleh Peter Boomgard telah menuliskan sebuah buku mengenai studi lingkungan yang berjudul Paper Landscapes: Explorations in The Environmental History of Indonesia. Buku ini berisi mengenai berbagai macam artikel yang membahas kajian lingkungan di Indonesia dengan menggunakan berbagai macam pendekatan. Sehingga artikel yang tersusun dalam buku ini membicarakan menegnai lingkungan, manusia dan aktivitas apa saja yang dilakukan dalam landskap tersebut. Artikel dalam buku tersebut hampir sebagaian besar merupakan kajian lingkungan yang berkaitan dengan proses eksploitasi alam, perumbuhan populasi penduduk, bahaya penyakit, yang selalu memunculkan kebijakan politik dan ekonomi dan mempengaruhi masyarakatnya, dan dapat disimpulkan bahwa kajian sejarah lingkungan tidak dapat dipisahkan dengan kajian ekonomi, sosial, dan politik.
Sebuah artikel yang ditulis oleh Eric Tagliacozzo, yang berjudul Onto the coasts and into the forest: Remifications of The China Trade on The Ecological History of Northwest Borneo, 900 – 1900 CE. [14] Artikel yang ditulis dengan menggunakan sumber-sumber berupa catatan-catatan perjalanan China dan bukti-bukti arkeologi ini menyebutkan bahwa sebenarnya interaksi antara China dengan orang-orang di Kalimantan khususnya Melayu telah terjadi antara tahun 900 – 1900, dari masa dinasti Sung hingga dinasti Tang. Ketika pusat perdagangan di Kanto tumbuh kenaikan kebutuhan China terutama akan hasil-hasil produksi hutan yang dihasilkan oleh Kalimantan meningkat pesat. Produk-produk ekonomis yang berasal dari lingkungan seperti sarang burung, teripang, rotan, dan kamper menjadi sebuah komoditas yang sangat penting bagi para pedagang asing. Hal ini akhirnya menjadi sebuah pemicu atas interaksi perdagangan yang semakin intens dan terstruktur rapi. Hasilnya banyak pemukiman semi nomaden yang ada di pesisir Kalimantan yang mengadopsi kebudayaan etnis lainnya untuk keperluan perdagangan dengan China. Artikel tersebut merefleksikan bagaimana sebuah lingkungan mampu mempengaruhi tingkah laku manusia yang ada didalamnya.
Knappen sendiri mencoba menjelaskan bagaimana kondisi lingkungan serta kondisi masyarakat di Kalimantan Timur sebelum abad XX dengan menggunakan catatan seorang petualang sekaligus penjelajah berkebangsaan Norwegia yang ditugaskan oleh Pemerintah Hindia Belanda, yaitu Carl Bock. Bukunya yang berjudul The Head Hunters mengisahkan bagaimana perjalanannya dari Tenggarong ibukota Kutai hingga ke Banjarmasin. Dalam buku itu Bock melihat bahwa didaerah pesisir timur Kalimantan sudah ditinggali oleh orang-orang Bugis, Melayu, Arab dan China. Bock melihat mengapa populasi penduduk di Kalimantan pada akhir abad XIX masih sangat sedikit, ia menyelidiki hal tersebut dan mendapatkan beberapa penyebab, yaitu wabah penyakit terutama Malaria, dan yang membuat ia tercengang ialah adanya tradisi berburu kepala yang dilakukan oleh Suku Dayak, orang Belanda menyebutnya Koppensenellen dan dalam bahasa setempat disebut dengan tradisi Ngayau. Bock mengamati bahwa kegiatan perekonomian yang dilakukan antara orang-orang Dayak dan Melayu berbeda, beberapa etnis dari orang-orang Dayak masih menutup diri mereka dari interaksi orang asing, mereka hanya melakukan aktivitas semi nomaden, seperti berburu dan meramu serta sedikit melakukan aktivitas lading berpindah untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sementara itu orang-orang melayu sudah melakukan aktivitas perdagangan dengan orang-orang Bugis, China dan Eropa. Sehingga dapat dijelaksan bahwa knappen melihat sejarah lingkungan bukan hanya mempelajari kondisi lingkungan namun juga manusianya dengan melihat aktivitas manusia terhadap alam yang menjurus kepada aktivitas ekonomi, seperti melakukan eksploitasi dan perburuan.[15]
Adrian B Lapian dalam artikelnya yang berjudul Nusantara: Silang Bahari dalam buku Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Dennys Lombard menuliskan mengenai efek dampak dari letusan gunung Tambora terhadap jaringan masayarakat bahari yang terkena dampak dari letusan gunung tersebut terutama yang tinggal sangat dekat dengan gunung itu.[16] Adrian B lapian menuliskan bahwa dampak dari letusan gunung tersebut sangat dahsyat sehingga memusnahkan kerajaan local yang ada di daerah tersebut. Bahaya kelaparan mengacam setelah musibah letusan gunug tersebut, karena tanah sangat asam sehingga tidak dapat ditanami oleh tanaman pangan. Akibat dari letusan gunung tersebut terjadi perubahan sosial ekonomi, masyarakat yang semula hidup menjadi petani dan pedagang tiba-tiba segala aktivitasnya terhenti dan melakukan perubahan terhadap mata pencaharian. Apa yang telah dituliskan oleh Adrian B Lapian merupakan sebuah realita bagaimana alam khususnya lingkungan mampu mengubah aktivitas manusia, dapat dikatakan bahwa aktivitas manusia terpengaruh oleh lingkungan tempatnya tinggal.
The uses of Environmental History
            Mengutip apa yang dikatakan oleh John Tosh dalam bukunya yang berjudul Pursuit of History yang dimulai dengan sebuah kalimat Tanya yang sangat sederhana dan pendek, namun sangat panjang dan sulit untuk dijelaskan, yaitu Apa yang kita dapatkan dari (belajar) sejarah?.  Studi sejarah lingkungan sangat bermanfaat sebagai dasar pembangunan di berbagai bidang yang bersifat berkelanjutan, terutama yang berkaitan dengan eksploitasi alam untuk kepentingan ekonomi dan dampak setelah eksploitasi alam itu terhadap manusia. Karena perkembangan sejarah lingkungan di Amerika sejalan dengan upaya gerakan pelestarian lingkungan di negara tersebut. Sejarah lingkungan tidak hanya berbicara mengenai lingkungan, namun juga bagaimana aktivitas manusia yang ada dalam lingkungan tersebut, karenanya sejarah lingkungan dapat dijadikan sebagai sebuah sarana untuk melakukan mitigasi bencana, sehingga apabila terjadi bencana alam jumlah jatuhnya korban dapat ditekan seminimal mungkin. Dengan mempelajari sejarah lingkungan diharapkan manusia mampu melakukan harmonisasi dengan lingkungannya, sehingga lingkungan bersikap ramah dan menjadi sebuah berkah bagi manusia bukan malah sebagai ancaman atau bencana.
Penutup
            Sejarah Lingkungan merupakan sebuah tema baru dalam historiografi Indonesia, analisis pengembangan sejarah lingkungan yang merupakan salah satu unsure pendukung dalam perbaikan interaksi antara alam dan manusia, sehingga menjadikan studi sejarah lingkungan tidak dapat dipandang sebelah mata. Apalagi terkadang penggunaan data-data dalam penelitian sejarah lingkungan merupakan sebuah kombinasi dari berbagai macam disiplin ilmu. Mulai dari penggunaan pendekatan ekonomi, antropologi, sosial, politik, hingga menggunakan pendekatan dari ilmu-ilmu alam. Sejarah lingkungan perlu dikembangkan di Indonesia, seperti kata Boomgard bahwa sejarah lingkungan lahir karena observasi yang dilakukan terhadap lingkungan saat ini, dimana kerusakan lingkungan di Indonesia sudah cukup parah dan perlu segera diadakan sebuah perbaikan yang dimulai dari birokrasi serta manajemen pengelolaan lingkungan mulai dari pusat hingga daerah. Artikel ini saya harap bermanfaat untuk sedikit menjawab serta merefleksikan mengenai bagaimana terjadinya bencana alam yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini yang sebagaian besar disebabkan ulah manusia, terutama banjir dan tanah longsor.






Daftar Pustaka
            Bert de Vries and Johan Goudsblom. (ed). Mappae Mundi: Humans and their Habitats in a Long-Term socio-Ecological Perspective Myth, Maps, and Models. Amsterdam: Amsterdam University Press, 2002.
Boomgard, Peter. (ed). A World of Water: Rain, Rivers, and Seas in Southeast Asian Histories. Leiden: KITLV Press, 2007. [Verhandelingen KITLV 240]
Boomgaard, Peter Freek Colombijn, David Henley. (ed). Paper Landscapes: Explorations in The Environmental History of Indonesia. Leiden: KITLV Press, 1997. [Verhandelingen KITLV 178]
Hidayat, Herman. Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Pada Masa Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: Yayasan Obor, 2011.
Lindblad, J. Thomas (ed). Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru. Terj. Bambang Purwanto dan Arief Rohman. Jakarta: Pustaka LP3ES. 2000
Lindblad, J. Thomas. Between Dayak and The Dutch: The Economic History in Southeast Kalimantan 1880 – 1942. Dordrecth: Foris, 1988. [Verhandelingen KITLV 134]
Loir, Henri Chambert dan Hasan Muarif Ambary. (ed). Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Dennys Lombard. Jakarta: Yayasan Obor, 2011.
Knappen, Han. Forest of Fortune?: The Environmental History of Southeast Borneo, 1600 – 1880. Leiden: KITLV Press, 2001. [Verhandelingen KITLV 189]
Wadley, Reed L. (ed) Histories of The Borneo Environment: Economic, Political and Social Dimensions of Change and Continuity. Leiden: KITLV Press, 2005. [Verhandelingen KITLV 231]
Worster, Donald. The Ends of The Earth; Perspectives on Modern Environmental History. Cambridge: Cambridge University Press, 1988.
Worster, Donald. The Wealth of Nature: Environmental History and The Ecological Imagination. (New York: Oxford University Press, 1993)




[1] Boomgard, Peter. (ed). A World of Water: Rain, Rivers, and Seas in Southeast Asian Histories. Leiden: KITLV Press, 2007. [Verhandelingen KITLV 240], hlm 2.
[2] Kompas, 16 Januari 2013
[3] Donald Worster. The Ends of The Earth; Perspectives on Modern Environmental History. (Cambridge: Cambridge University Press, 1988). Hlm, 290 – 291.
[4] Lebih jelas silahkan baca, Herman Hidayat, Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Pada Masa Orde Baru dan Reformasi. (Jakarta: Yayasan Obor, 2011).
[5] Donald Worster. The Wealth of Nature: Environmental History and The Ecological Imagination. (New York: Oxford University Press, 1993). Hlm, 31.
[6] Ibid. hlm. 32.
[7] Reed L. Wadley,. (ed) Histories of The Borneo Environment: Economic, Political and Social Dimensions of Change and Continuity. (Leiden: KITLV Press, 2005). [Verhandelingen KITLV 231], hlm. 3.

[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Peter Boomgaard, Freek Colombijn, David Henley. (ed). Paper Landscapes: Explorations in The Environmental History of Indonesia. Leiden: KITLV Press, 1997. [Verhandelingen KITLV 178], hlm. 1 – 26.

[11] Mary Catherine Quilty. Textual Empires: A Reading of Early British Histories of Southeast Asia. (Clayton: Monash Asia Institute. 1998.) Hlm. 10 – 11.
[12] Ibid.
[13] Ibid. hlm. 17.
[14] Reed L. Wadley. Histories of The Borneo Environment: Economic, Political and Social Dimensions of Change and Continuity. (Leiden: KITLV Press, 2005). [Verhandelingen KITLV 231] hlm. 25 - 59
[15] Lebih jelas silahkan baca Han Knappen,. Forest of Fortune?: The Environmental History of Southeast Borneo, 1600 – 1880. Leiden: KITLV Press, 2001. [Verhandelingen KITLV 189]
[16] Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary. (ed). Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Dennys Lombard. (Jakarta: Yayasan Obor, 2011). Hlm. 79 – 92.