Jumat, 17 Desember 2010

Prostitusi Waria di Pemakaman Kembang Kuning Surabaya


Oleh 
Akhmad Ryan Pratama


Latar Belakang

            Mengapa kawasan kembang kuning dapat menjadi salah satu tempat prostitusi di wilayah Surabaya. Hal ini dapat dijelaskan dengan berbagai alasan. Alasan pertama yang dapat dikemukakan ialah karena ditempat tersebut cahaya penerangan sangat minim dibandingkan dengan luas areal pemakaman yang sangat besar. Sehingga di beberapa tempat terlihat sangat remang-remang bahkan sangat gelap. Tempat-tempat tersebut yang dijadikan sebagai tempat prostitusi.
Kedua, proses prostitusi yang dilakukan di daerah tersbut telah berlangsung cukup lama. Walaupun begitu, pihak berwajib seperti satpol PP maupun aparat kepolisian jarang sekali merazia tempat tersebut, kalaupun mereka merazia, operasi tersebut telah diketahui terlebih dahulu oleh waria sehingga saat penggerebakan aparat tersebut tidak menemukan sasaran yang diincarnya. Kalaupun ada aparat tersebut harus berjibaku untuk mengejar waria tersebut, seringkali para aparat gagal untuk menangkap waria yang melarikan diri. Hal ini dikarenakan waria tersebut lebih mengenal kompleks pemakaman tersebut ketimbang aparat yang tidak mengenal lokasi itu, dan mereka harus mengejar dalam situasi yang sangat gelap.
Ketiga, disebabkan tidak adanya larangan dari pengelola pemakaman Kembang Kuning terhadap para waria ataupun PSK yang beroperasi di daerah tersebut, hanya saja pengelola pemakaman meminta agar PSK ataupun Waria tidak membuang sampah di sembarang tempat. Dalam hal ini sampah yang dimaksud ialah segala alat yang mereka gunakan selama menservis klien mereka. Kelonggaran ini membuat para PSK dan Waria semakin marak beroperasi didaerah ini.
Alasan keempat, para warga sekitarpun merasa acuh dan tidak mau peduli terhadap keberadaan waria ataupun PSk dilokasi tersebut. Bagi masyarakat dan Para Waria terjalin semacam consensus bersama yang menyebabkan mereka tidak akan saling mengganggu, selain itu keberadaan waria juga dapat memberikan pemasukan tambahan bagi warga sekitar yang menjadikan pemakaman tersebut sebagai salah satu stan atau warung sederhana mereka.
Prostitusi Waria di Kembang Kuning        
            Di Pemakaman Kembang kuning terdapat sekitar lebih dari 10 orang Waria yang beroperasi. Mereka beroperasi dari pukul 8 malam dan berakhir hingga jam 3 pagi, tetapi beberapa waria mengatakan bahwa mereka akan terius disitu hingga mereka memperoleh klien atau merasa lelah.  Berdasarkan sumber yang kami himpun  waria yang beroperasi di daerah itu telah saling mengenal satu sama lain. Hal ini menyebabkan konflik atau persaingan yang tidak sehat daintara mereka dapat dihindarkan. Tingkat solidaritas mereka yang tinggi juga disebabkan, karena adanya suatu lembaga yang memiliki tujuan untuk mengadakan suatu proses advokasi, konsolidasi dan perlindungan terhadap para waria. Lembaga tersebut disebut PERWAKOS ( Persatuan Waria Kota Surabaya), seluruh waria yang beroperasi didaerah Kembang kuning tergabung dalam lembaga tersebut. Sangat disayangkan ketika tim peneliti ingin meminta data lebih lanjut tentang PERWAKOS, tim tidak bisa menemukan sekretariatnya, dikarenakan secretariat tersebut telah berpindah tempat.
            Mengenai masalah tarif, para waria yang broperasi di pemakaman Kembang Kuning mematok tarif antara Rp. 15.000 hingga Rp. 25.000 untuk service short time yang langsung dilakukan di tempat tersebut. Apabila klien membawa keluar waria, maka tarif yang dikenakan berkisar antara Rp. 50.000 hingga Rp. 75.000. namun hampir semua waria yang beroperasi di kembang Kuning menolak untuk diajak keluar oleh klien mereka. Hal ini disebabkan seringkali mereka ditipu dengan cara mereka tidak dibayar oleh klien mereka setelah mereka menservis tamu mereka. Mereka menservis tamu mereka secara anal dan oral sex. Mereka selalu membawa dan menggunakan kondom saat melakukan anal sex dengan kliennya, hal ini mereka lakukan untuk mencegah penularan penyakit kelamin, dan hal ini mendapat bantuan sepenuhnya dari PERWAKOS.
            Keberadaan Germo di area kembang kuning ini tidak ada, sehingga para waria tersebut bebas menentukan tariff mereka. Selain itu dengan ketidakadaan germo di kembang kuning membuat mereka bekerja tanpa beban dan paksaan. Beberapa waria bertutur bahwa mereka sebenarnya ingin melepaskan diri atau meninggalkan pekerjaan ini. Mereka juga berharap agar bisa menjadi laki-laki yang normal dan memperoleh pekerjaan dari pemerintah.
Rere: Suatu Potret antara konflik Moralitas dan Realitas Kehidupan
Sebagai  sumber referensi lainnya  kami juga mewawancarai narasumber  lain yang beroprasi di daerah Kembang Kuning sebut saja Made alias Rere yang berasal dari Bali. Dia beroprasi di daerah tersebut sejak tahun 2004 hingga sampai saat ini, Rere melakukan praktek prostitusi dengan memberi servis kepada setiap para lelaki hidung belang dengan cara melakukan oral dan anal sex. Hampir sama dengan alasan kebanyakan waria lainnya yang datang ke kota Surabaya. Alasan made pergi ke kota Surabaya  di karenakan terbentur  alasan perekonomian serta disebabkan karena kekasihnya yang berkebangsaan Italia tidak mau memberi nafkah baik lahiriah maupun batiniah sehingga membuat Rere meninggalkan kekasihya tersebut untuk mencari kebebasan dan kehidupan yang lebih baik. Selain alasan diatas, ternyata masih terdapat alasan lain yang membuat Made alias Rere menjadi waria, yaitu karena efek psikologis yang diderita semasa remajanya. Tanda-tanda Rere menjadi waria mulai dirasakan sejak SMP kelas dua, yang waktu itu masih berumur 14 tahun. Akibat perlakuan dari sang ayah yang menuntut ingin mempunyai anak perempuan sehingga setiap hari Rere dipaksa untuk berpakaian feminine dan diperlakukan layaknya seorang gadis.
Pengaruh sang ayah yang sangat dominan sehingga akhirnya membentuk Rere menjadi seorang waria, walaupun pada puncaknya ketika ayahnya meninggal, kebiasaan berpakaian dan bersifat feminimnya tidak hilang, malah bahkan menjadi-jadi. Telah diakui Rere ketika pertama kali ia melakukan praktek sex, ialah ketika dirinya berumur 14 tahun.
Rere memilih kembang kuning dikarenakan lokasi ini memiliki karena dilokasi ini merupakan lokasi yang sangat strategis, hal ini dapat dilihat karena daerah tersebut dapat dikatakan sebagai daerah kurang elit bagi para PSK, hal ini didasarkan atas tarif PSK atau waria didaerah kembang kuning ini hanya berkiasar antara Rp. 25.000 hingga Rp.50.000.  karena bukan darah prostitusi legal sehingga sering terjadi razia yang dilakukan oleh satpol PP, seperti yang dikatakan rere bahwa kondisi geografis daerah ini sangat mendukung apabila rere beserta waria dan PSK lainnya berusaha meloloskan diri dari kejaran aparat satpol PP. Selain itu didaerah ini Rere mengaku memiliki kawan yang berprofesi sama, sehingga Rere tidak merasa sendirian, dengan mempunyai komunikasi yang bagus antara sesama rekan seprofesi, maka terjadi suatu persaingan yang sehat diantara mereka, sehingga konflik sangat jarang terjadi.
Selain itu, lokasi kembang kuning dipilihnya karena panduduk sekitar tempat tersebut acuh atau tidak mau peduli dengan adanya praktek prostitusi di daerah itu, rere bercerita selama kita tidak mengganggu mereka tidak akan mengganggu kita. Pihak pengelola tempat tersebut juga hanya menegur Rere dan rekan-rekan seprofesinya untuk menjaga kebersihan tempat pemakaman tersebut. Untuk itu Rere juga tidak lupa menginggatkan kliennya agar membuang sampah (kondom, tisu) ke tempat sampah yang telah dia sediakan.
Rere juga menceritakan selama menjalani profesi tersebut ia juga pernah mengalami suatu pengalaman yang tidak mengenakan. Yaitu pada saat ia msedang melayani kliennya di dalam mobil, ketika klien tersebut telah terpuaskan dan rere hendak menagaih bayarannya, kliennya tersebut dengan kasar menyuruh rere untuk keluar dari mobilnya. Akibatnya dengan perasaan Kecewa rerepun melempar kaca mobil kliennya dengan batu, lalu Rerepun melarikan diri. Rere juga menceritakan bahwa ada suatu wadah yang melindungi seluruh Waria kota Surabaya. Organisasi tersebut disebut PERWAKOS (Persatuan Waria Kota Surabaya). Hanya saja saat penelitiu hendak mencari data tentang organisasi tersebut, tim peneliti tidak berhasil menemukan sekretariatnya di daerah banyu biru.
Rere juga menuturkan, bahwa sebenarnya dia tidak ingin menjalani kehidupan dengan cara seperti ini. Ia juga menuturkan harapannya kepada kami, bahwa dia ingin kedua adiknya tidak meniru jejaknya dan dapat melanjutkan sekolah yang lebih baik dari dia sendiri, atas komitmen kepada kedua adiknya tersebut Rere bertekad bekerja keras untuk membiayai kedua adiknya yang masih bersekolah. Adik pertamanya masih kuliah di Universitas Udayana sedangkan adik keduanya masih kelas 2 SMA. Rere juga mempunyai harapan bahwa dalam 4 tahun ia akan giat menabung dan mempunyai modal untuk mendirikan usaha sendiri, sehingga ia bisa berhenti menjalani profesi ini. rere juga memiliki memiliki harapan untuk bisa menjalani hidup normal seperti laki-laki biasa pada umumnya.
 Moralitas Vs Realitas Kehidupan
Waria atau banci dalam terminologi bahasa Arab adalah "khuntsa" yang berarti seseorang yang memiliki dua kemaluan: dzakar/pelir dan vagina sekaligus. Dalam sebuah riwayat dari imam ad-Darimi disebutkan bahwa sahabat Ali bin Abu Thalib ra pernah berkata, "Seorang waria bisa menerima warisan berdasarkan tempat keluar kencingnya dari arah kelaminnya".
Waria merupakan salah satu fenomena genetik yang memang sudah ada sejak masa lalu, sebelum masa Nabi saw[1].
Seseorang yang memiliki genetik waria harus dinilai dari aspek "psikis" seperti kecenderungan emosi, sikap, perilaku, dan lainnya. Jika dia cenderung kepada kelaki-lakian, maka harus dianggap sebagai laki-laki, begitu juga sebaliknya, jika cenderung kepada kewanitaan, maka harus dianggap wanita/perempuan.
Namun jika dia memiliki alat kemaluan satu tetapi memiliki gejala psikis yang berlawanan (misalnya jenis kelamin laki-laki tetapi memiliki psikis perempuan), maka juga harus dinilai dari aspek psikisnya. Yang penting gejala psikis itu adalah "alamiah", bukan "rekayasa". Yang dimaksud rekayasa misalnya karena untuk menarik popularitas dan materi, dia mau mengubah tampilan fisiknya secara berlawanan degan bawaan genetik-nya.
Waria dalam Islam

               Dalam pandangan Islam, membincangkan seputar waria tidak mendapatkan porsi yang besar, dibanding hukum-hukum yang lain. Sejak zaman Nabi-nabi dahulu, fenomena orang lelaki memyerupai perempuan itu sudah ada. Bahkan beberapa hadits sangat keras melihat fenomena tersebut. Salah satunya berbunyi :
 
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ اْلمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَاْلمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
Artinya :
               “Rasulullah melaknat orang laki-laki yang menyerupai perempuan dan orang perempuan yang menyerupai laki-laki” (H.R. Bukhari)
               Pada waktu itu  datang seorang sahabat  kepada Nabi bersama seorang waria. Saat itulah Nabi bersabda sebagaimana hadits di atas. Saat itu Nabi ditanya seorang shahabat apakah dia harus dibunuh? Nabi menjawab agar ia diasingkan saja. Pengasingan diambil agar ia selamat dari cemoohan dan perlakuan diskriminasi dari masyarakat Arab yang memang keras saat itu. (Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islāmiy wa Adillatuh, juz. IV, hlm. 2683-2684).
               Oleh karenanya, perlu diketahui beberapa hal. Pertama, tujuan pengasingan yang dilakukan Nabi saat itu adalah untuk melindungi waria dari tindakan masyarakat yang mengancamnya. Kedua, waria yang diasingkan tersebut adalah lelaki yang memang sengaja mengubah dirinya menjadi wanita. Bukan faktor bawaan sejak kecil yang di luar kontrol dirinya. Inilah yang dikecam keras oleh Islam. Ketiga, pelarangan Nabi tersebut sebagai upaya menjaga keberlangsungan kehidupan manusia (hifdh al-nasl). Bagaimana jadinya jika seluruh pria di muka bumi ini menjadi pria? Tentu keberlangsungan hidup manusia akan terputus, karena proses keturunan akan terhenti[2].
               Perlu diketahui bahwa ada orang yang terpanggil menjadi waria karena semacam kodrat yang datang dengan sendirinya, tanpa dibentuk dan disengaja. Penentangan hadis tersebut terhadap waria justru pada mereka yang merubah keadaannya menjadi waria dengan sengaja dan sadar. Karenanya, waria yang lahir secara naluriah tanpa sengaja dibentuknya, tidak termasuk dalam cakupan hadis di atas.
               Lain halnya dengan laki-laki yang sengaja merubah dirinya menjadi perempuan, apalagi merubahnya dengan alasan ekonomi dan menjadi PSK seperti fenomena sekarang ini yang banyak kita jumpai di sudut-sudut kota besar. 

Waria dalam Masyarakat
        
           Pada dasarnya waria tidak pernah menginginkan dirinya dilahirkan menjadi seorang waria. Sama seperti oarng yang tidak pernah meminta lahir menjadi orang cacat fisik. Secara normatif, agama memang dengan jelas dan tegas melarang orang yang mengubah dirinya dari laki-laki menjadi wanita dengan sengaja.
               Tidak jarang para waria ini diperlakukan tidak secara manusiawi. Di dalam masyarakat dia dikecam, dalam keluarga mereka diusir, dan oleh negara mereka tidak diakui. Betapa perih batin yang mereka rasakan. Sementara mereka tidak tahu harus berbuat apa atas kelainan yang mereka derita.
               Keberadaan waria memang sebuah kenyataan kompleks. Ia terangkum dari berbagai faktor. Faktor didikan sejak kecil ternyata memainkan peranan cukup besar. Misalnya sejak kecil orang tua memperlakukan anak lelakinya seperti perempuan, memakaikan rok mini, anting-anting, bunga, dan semacamnya. Perlakuan ini akan membentuk watak anak menjadi lebih dominan bertingkah layaknya perempuan. (Prof. Dr. Koentjoro, Jawa Pos, 08/06/2005)[3].
               Aliran nativisme dalam psikologi perkembangan, anak kecil ibarat tabularasa atau semacam wadah kosong (Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka, hlm. 271-272). Segala yang diserap oleh anak pada fase pertumbuhan berpotensi ditiru menjadi watak. Fase ini dapat disebut sebagai fase cermin, karena segala tindakan yang berasal dari luar dirinya akan menjadi cermin bagi anak untuk menegaskan dirinya (Marx Bracher, Jeacques Lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial, hlm. Xvi-xvii).

Konklusi
 
               Kenyataan ekonomi bangsa yang demikian parah dan terpuruk memaksa komponen masyarakat kelas bawah yang lemah, berusaha mendapatkan sesuap nasi dengan jalan apapun. Tidak jarang seseorang mengubah dirinya menjadi waria hanya karena faktor ekonomi. Waria sangat lekat dengan praktik prostitusi. Padahal banyak waria yang berpendidikan dan ia memilih menjadi waria bukan didorong faktor ekonomi, melainkan secara kodrati jiwa mereka seperti perempuan. oleh karena itu janganlah beranggapan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan hal yang menjijikan, namun bijaksanalah dalam menilai mereka dengan pendekatan humanis. bahwa apa yang mereka lakukan disebabkan oleh sebab-sebab lain, sehingga tetap hormatilah mereka sesuai martabat mereka sebagai sesama manusia. 

Wa'Allahua A'lam Bishawab...

Special Thanks:
Evrilla Reza, Dwi Wahyono Hadi, dan Radite, yang seluruhnya merupakan mahasiswa Ilmu Sejarah FIB UNAIR Angkatan 2007.

[2] http://cfssyogya.wordpress.com/2007/03/15/menghormati-waria/
[3] Ibid.


Kamis, 02 Desember 2010

MISINTIPERASI MASYARAKAT TERHADAP PEMAKNAAN BULAN RAMADHAN

MISINTIPERASI MASYARAKAT TERHADAP PEMAKNAAN BULAN RAMADHAN


        Ramadhan mungkin suatu kata yang tidak asing di benak kita. Ramadhan merupakan suatu bulan yang penuh dengan berkah dan ampunan bagi orang-orang yang berusaha untuk mendapatkanya. Di Bulan inilah umat manusia mendapat petunujuk yang dapat membawa manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya. Yaitu turunya Al-qur’an ke dunia ini.di bulan yang mulia ini berbondong-bondong umat muslimmelakukan segala peningkatan aktivitas ibadah. Hal ini dapat kita saksikan dengan penuhnya tempat-tempat ibadah oleh kaum muslimin yang ingin melakukan bebagai aktivitas ibadah seperti Shalat terawih, Itikaf, qiyamul lail, mabit, berbagai kajian keislaman, serta hal-hal lain yang tidak dapat disebutkan.

        Pada umumnya masyarakat memiliki pandangan bahwa hanya di bulan Ramadhan inilah Allah melipatgandakan segala pahala amal ibadah, seperti dari ibadah sunnah memiliki pahala setara amal ibadah perbuatan wajib, dan amal perbuatan wajib dilipatgandakan hingga mencapai suatu batasan yang tidak dapay dikalkulasi secara matematis. Pandangan yang dianut oleh masyarakat ini benar, hanya saja apabila pemaknaan arti Ramadhan hanya sebatas meningkatkan amal ibadah saja tanpa adanya proses tarbiyah (pembinaan) terhadap diri kita sehingga aktivitas ibadah kita yang selama bulan Ramadhan meningkat tetapi setelah bulan ramadhan usai. amal ibadah kita menjadi turun atau tidak memiliki konsistensi (istiqamah) dalam beribadah di luar bulan Ramadhan, tentu saja pemaknaan Ramadhan ini sangat sempit atau sangat dangkal.

Sebagai contoh yang nyata dapat kita lihat pada bulan-bulan atau hari-hari biasa sebelum bulan Ramadhan tempat-tempat ibadah seperti masjid atau mushala hanya didatangi oleh beberapa orang saja. Bahkan mungkin saja ada sebuah fakta yang sangat memprihantinkan mungkin saja di suatu tempat ada seorang muadzin (pengumandang adzan) merangkap menjadi seorang imam dikarenakan idak ada seorang pun jama’ah yang datan untuk mendirikan shalat berjamaah.

Mungkin pada permulaan kita memasuki bulan Ramadhan tempat-tempat ibadah penuh sesak oleh yang ingin melaksanakan berbagai aktivitas ibadah, tetapi keadaan mulai berbalik apabila bulan Ramadhan akan setelah berakhir atau dengan kata lain mendekati hari raya idul fitri, tempat-tempat ibadah yang semula penuh berangsur-angsur jema’ahnya mulai berkurang dikarenakan pada saat itu masyarakat mulai sibuk untuk mempersiapkan hari raya idul fitri.

Pada hari-hari menjelangnya berakhirnya bulan Ramadhan hampir seluruh pusat perbelanjaan ramai dipadati oleh para pengunjung yang sibuk berbelanja untuk mempersiapkan kebutuhan pada saat hari raya, salah satu faktor yang menyebabkan meningkatnya jumlah pengunjung ialah hampir di seluruh pusat perbelanjaan tersebut menawarkan obral besar-besaran yang disertai diskon dan potongan harga yang besar.

Karena tingkah laku masyarakat itu, akhirnya berimbas atau mempengaruhi pola kegiatan perekonomian mereka , mungkin pada bulan-bulan lainya sebelum bulan Ramadhan mereka menyusun anggaran belanja konsumsi dengan sekala prioritas atau penuh dengan berbagai pertimbangan dalam membelanjakan uang mereka. Tetapi sangat disayangkan sikap masyarakat itu mulai hilang ketika akhir dari bulan Ramadhan, mereka membelanjakan uang mereka dengan sangat boros (konsumerisme) rata-rata meraka membeli barang yang tidak seberapa penting dan mendesak untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Allah berfirman :

Bulan Ramadhan ialah (bulan) yang didalmnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang bathil). Karena itu barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari yang ditinggalkanya itu, pada hari-hari lain Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu, hendaklah kamu mencukupkan bilanganya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur. (Q.S Al-Baqarah 2 : 185)

Dalam kutipan surah Al- Baqarah bahwa Allah sesungguhnya ingin menjadikan bulan Ramadhan sebagai sarana tarbiyah (pembinaan) bagi hamba-hamba-Nya agar mereka menjadi orang yang bertaqwa dan bersyukur. Seharusnya dengan momen bulan Ramadhan ini dapat kita manfaatkan sebagai cara melatih diri kita. Dengan berpuasa secara tidak langsung kita menanamkansikap empati ke dalam diri kita, pada saat berpuasa kita secara langsung ikut merasakan kelaparan, sebagaimana rasa lapar yang juga dialami oleh saudara kita yang sedang berada dibelahan bumi lainya. Seharusnya kita juga menyadari betapa banyak saudara kita yang tidak dapat merasakan nikmatnya menjalankan ibadah puasa dikarenakan berbagai alasan.

Ibrah (hikmah) yang dapat kita ambil dari ibadah berpuasa mungkin telah dijelaskan dia ayat berikut ini :

“maka nikmat Tuhan kamu yang manahkah , yang kamu dustakan?” (Q.S Ar-Rahman)

Ayat ini disebutkan dalam 78 ayat yang terdapat dalam surah Ar-Rahman sebanyak 31 kali ini merupakan pengulangan yang bijaksana yang merupakan atmosfir vital untuk mengingatkan manusia akan pentingnya bersyukur. Karena sesungguhnya manusia itu bersyukur untuk dirinya sendiri, apabila manusia tidak mau bersyukur hal ini tidak membawa pengaruh terhadap kebesaran Allah SWT karena sesungguhnya Allah itu Maha Kaya dan tidak membutuhkan sesuatu dari mahkluk ciptaanya.

Momen Ramadhan ini juga merupakan tolak ukur seberapa besar rasa cinta kita kepada Allah SWT.
Cinta merupakan kehidupan hati dan santapan ruhani, tanpa cinta hati seseorang tidak dapat merasakan kenikmatan hidup dan kebahagiaan. Apabila hati telah kehilangan cinta, maka yang tersisa hanyalah penderitaanya yang lebih menyakitkan daripada sakitnya mata yang kehilangan penglihatan, juga telinga yang kehilangan pendengaran, hidung yang kehilangan daya penciuman dan lisan yang tidak mampu berbicara lagi. Bahkan kebinasaan hati karena kehilangan cinta kepada Allah jauh lebih menyakitkan daripada kebinasaan tubuh karena kehilangan nyawa. Hanya orang yang dihatinya ada kehidupan sajalah yang dapat membenarkan pernyataan ini. (Al Jawaab Al Kaafi, hal 282-283)

Sesungguhnya kenikmatan yang paling utama bagi kita ialah apabila kita melakukan segala amal perbuatan baik, dilandaskan keihklasan karena rasa cinta kita kepada Allah SWT.
Oleh sebab itu harapan terbesar yang sebenarnya kita tuju ialah keridhaan dari rabb kita. semoga amal ibadah yang kita lakukan pada saat bulan Ramadhan dapat kita jaga kuantitas maupun kualitasnya selama 11 bulan ke depan hingga Allah mempertemukan kita dengan Ramadhan tahun depan.
Wa alllahu alam bi shawab.




Ditulis oleh Akhmad Ryan Pratama Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UNAIR Departemen Ilmu Sejarah.

Senin, 29 November 2010

Oh Balikpapan . . . Sejarahmu Kini. . .


Oh Balikpapan . . . Sejarahmu Kini. . .[1]
Bij
Akhmad Ryan Pratama[2]

Balikpapan en Petroleum mij (Balikpapan dan Perusahaan Minyak)
Balikpapan  merupakan salah satu kota bersejarah di Kalimantan Timur, tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah kota ini tidak bisa terlepas dari aktivitas ekploitasi serta industri perminyakan yang memainkan peran strategis bagi roda perekonomian hingga kini.  Exsploitasi perminyakan sudah dimulai  sejak awal abad 19 yang ditandai dengan adanya pengeboran sumur minyak pertama di daerah konsensi Mathilda (Wilayah konsesi tersebut di sekitar daerah Jalan Minyak).
 Pembangunan Industri penyulingan minyak yang terletak di teluk Balikpapan memberikan suatu permulaan, yang kemudian akan menjadi awal dari perkembangan ke wilayah ke arah pedalaman (hinterland). Perluasan dan perkembangan wilayah juga akan memberikan suatu dinamika sosial, budaya, politik dan ekonomi dalam wilayah tersebut. Seperti adanya fasilitas hiburan, pembangunan jalanan, dan masuknya zending serta misionaris ke Balikpapan. Mobilitas penduduk juga terjadi di wilayah ini, dimana orang-orang Belanda juga memperkerjakan orang-orang yang mereka bawa dari pulau Jawa sbagai pegawai atau buruh pabrik rendahan. Seiring meningkatnya jumlah penduduk, maka lalu lintas pelayaran untuk mengekspor atau mengimpor komoditi juga akan semakin meningkat, dalam hal ini penulis beranggapan bahwa daerah di Kalimantan Timur, khususnya Balikpapan daerahnya kurang subur, sehingga tidak cocok untuk ditanami padi yang merupakan sumber bahan pangan pokok pada massa itu, selain itu KPM (Koninklijk Paketvaart Matschapij) perusahaan perkapalan milik pemerintah kolonial Hindia Belanda telah melayani rute Balikpapan[3]. Sehingga menurut hemat penulis maka pada masa ini telah terjadi arus bongkar muat barang, bahkan migrasi manusia yang diperlukan sebagai tenaga kerja untuk industrialisasi penyulingan minyak di Balikpapan.
Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda pembangunan infrastruktur lebih difokuskan untuk mempermudah jalannya industrialisasi minyak, sehingga pembangunan jalan serta pipa penyaluran minyak banyak dilakukan disepanjang garis pantai Balikpapan, bahkan instalasi tangki penyimpanan minyak serta pelabuhan penyaluran dibangun dalam satu komplek yang sama, sehingga memudahkan penyaluran terhadap kapal-kapal yang datang ke Balikpapan untuk mengangkut minyak, dan kemudian didistribusikan ke luar daerah.
Infrastruktur penyulingan minyak yang ada di Balikpapan dan Tarakan tersebut rupanya menarik perhatian Jepang, sehingga sebelum Jepang menguasai Jawa sebagai pusat dari pemerintah kolonial Hindia Belanda, Jepang memutuskan untuk mengamankan sumber vital ini, sehingga kebutuhan Jepang akan bahan bakar minyak pada saat perang berlangsung, dapat tercukupi[4]. Sebelum Infrastruktur produksi minyak di Balikpapan dan Tarakan dikuasai oleh Jepang, maka tentara KNIL beserta para pekerja BPM melakukan tindakan sabotase, sehingga tentara pendudukan Jepang tidak dapat memanfaatkan infrastruktur tersebut, dan gerakan dari tentara tersebut dapat diperlambat. Pada masa pendudukan Jepang ini juga terjadi bentuk pemaksaan dalam pengeksplotasian Minyak bumi. 
Balikpapan Jaman Jepang
Eksploitasi minyak serta pendudukan yang dilakukan Jepang secara tidak langsung, juga membawa dampak yang sangat besar terhadap keadaan sosial, ekonomi dan politk warga kota Balikpapan. Karena dengan adanya sumber vital dan strategis ini maka Jepang harus membuat pengamanan untuk menjaga sumber tersebut agar tidak disabotase atau jatuh ketangan tentara sekutu. Oleh karena itu Jepang juga melakukan serangkaian kerja paksa untuk membuat kubu-kubu pertahanan disekitar daerah pesisir Balikpapan, dimana terletak kilang minyak serta sumur minyaknya. Proses pemaksaan tersebut tentu saja juga mendapat resistensi lokal, walaupun resistensi atau proses perlawanan tersebut tidak sebesar di daerah lain.
Selain itu tentu terdapat perbedaan antara kebijakan yang pernah diterapkan oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan pemerintahan pendudukan Jepang. Adanya perbedaan kebijakan tersebut tentu saja berdampak terhadap kondisi sosial, ekonomi dan politik masayarakat kota Balikpapan. Karena itu diperlukan penelitian yang lebih lanjut  untuk dapat mengetahui kondisi sosial pada masa itu.
Hampir dapat dipastikan salah satu faktor yang mempengaruhi mengapa Jepang dapat dengan mudah menduduki wilayah di Indonesia, ialah karena organisasi propaganda Jepang (Sendenbu) melakukan pembentukan opini-opini ke masyarakat di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara bahwa, perang yang dilancarkan oleh Jepang merupakan suatu perang pembebasan untuk kemakmuran Asia Timur raya, oleh sebab itu maka seluruh rakyat Asia Timur Raya harus berhimpun dibawah pimpinan Jepang, untuk melenyapkan penjajahan yang dilakukan oleh orang kulit putih[5].  
Praktek eksploitasi minyak yang dilakukan oleh Jepang di Balikpapan, merupakan salah satu upaya bagi Jepang untuk memenuhi kebutuhan perangnya serta bahan baku atas industrinya. dengan adanya eksploitasi minyak tersebut maka telah terjadi suatu proses perubahan system sosial di dalam kota Balikpapan itu sendiri. Walaupun penulis juga menyadari bahwa eksploitasi minyak merupakan salah satu variabel yang berperan dalam perubahan sistem sosial tersebut, dan bukan satu-satunya faktor tunggal dalam perubahan sistem sosial tersebut.
            Pasukan Jepang juga mengoperasikan kembali kilang-kilang minyak di Balikpapan, Jepang juga menyadari bahwa, mereka harus mempertahankan kedudukan kilang-kilang minyak tersebut dari ancaman tentara sekutu. Oleh sebab itu Jepang mulai membangun suatu system pertahanan, hingga saat ini reruntuhan atau sisa-sisa kubu pertahanan Jepang dapat dilihat. Mengetahui bahwa mereka harus memprioritaskan pemenuhan kebutuhan perang mereka. Maka Jepang tidak memperhatikan keadaan sosial, serta ekonomi yang dialami oleh masyarakat Balikpapan pada masa itu.
            Perubahan sosialpun mulai terjadi, pada masa itu terjadi berbagai kesulitan yang dialami oleh warga kota, diantaranya kelaparan, wabah penyakit serta pemenuhan kebutuhan pokok yang sangat sulit sekali dipenuhi. Kondisi memprihatinkan yang dialami oleh masyarakat dan tawanan perang jepang ini diketahui, setelah pada Juli 1945, pasukan Australia berhasil merebut Balikpapan dari tangan Jepang.

Identitas Sejarah yang Memudar
            Balikpapan sebenarnya merupakan kota dengan sejarah yang cukup panjang, dan memainkan peranan yang sangat penting dalam 3 zaman, (yaitu zaman Kolonial Hindia Belanda, Zaman Jepang, serta pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia) dimana peran Balikpapan dengan industrialisasi minyaknya mampu menjadi magnet bagi para penguasa yang berkuasa pada zaman itu.
            Namun sejarah yang menceritakan identitas Balikpapan seakan-akan hilang ditelan zaman, hampir sebagaian besar masyarakat Balikpapan tidak mengetahui betapa penting peran kota mereka yang dinaratifkan dalam penulisan sejarah. Tidak adanya buku-buku yang mengungkapakan sejarah local mempercepat proses penghapusan identitas sejarah kota ini, muatan kurikulum sejarah local yang tidak mencantumkan riwayat sejarah Balikpapan seakan-akan semakin menjauhkan kalangan akademis muda dengan sejarah asal-usul kota mereka sendiri. keadaan semakin diperparah ketika berbagai situs bersejarah yang seakan-akan diabaikan oleh pemerintah kota dan masyarakat Balikpapan sendiri, sehingga situs-situs tersebut cenderung kehilangan nilai historis, bahkan beralih fungsi menjadi tempat muda-mudi Balikpapan memadu kasih.
            Badan arsip daerah dan perpustakaan yang baru dibukapun, seakan-akan tidak mampu bebuat banyak untuk menolong proses penghapusan identitas sejarah Balikpapan, bagaimana tidak, arsip yang seharusnya merupakan gudang informasi atau diibaratkan sebagai buku harian yang selalu mencatat segala perubahan yang terjadi, namun faktanya kota Balikpapan baru melakukan pengarsipan sejak tahun 2005. Sehingga kota yang konon didirikan sejak tahun 1897 ini kehilangan informasi penting selama lebih dari 100 tahun, apabila kita menghitungnya dari tahun kota ini lahir (1897) hingga tahun 2005.  
Konklusi
History cannot give us a program for the future, but it can give us a fuller understanding of ourselves, and of our common humanity, so that we can better face the future.
Robert Penn Warren
            Mengutip pernyataannya bung Karno yang sangat terkenal ‘Jas Merah’ jangan sekali-kali melupakan sejarah. Dalam pernyataan tersebut bung Karno menekankan hal yang sangat penting mengenai kedudukan sertan peran sejarah. Namun rupanya kutipan tersebut hanya sekedar kutipan tanpa makna. Balikpapan merupakan salah satu potret kecil dari banyak kota yang mengalami amnesia sejarah, disebabkan dinamika zaman yang lebih menekankan kearah pragmatisme, cepat atau lambat Balikpapan akan kehilangan identitas apabila para pemuda dari kota tersebut tidak memahami sejarah kota mereka sendiri. baik atau buruknya perkembangan kota Balikpapan tergantung dari peran pemuda Balikpapan itu sendiri. mengutip peribahasa latin yang terkenal Historia est vitae magistra yang berarti sejarah adalah guru kehidupan, maka tidaklah mengherankan bahwa orang yang akan maju ialah orang yang belajar dari sejarah, sehingga tidak mengulangi kesalahan yang akan terjadi di masa lalu, dan mampu memprediksi apa yang terjadi di masa yang akan datang.
“Wa’Allahua alam Bishawab”  




[1] Artikel ini disampaikan dalam diklat KPMB Surabaya pada tanggal 27 November 2010.
[2] Penulis merupakan Alumni SMA Negeri 1 Balikpapan, saat ini sedang menempuh skripsi di Departemen Ilmu Sejarah FIB, UNAIR.
[3] Lihat, Paulus,J. Encylopædie van Nedelandsch-Indië 1. (Leiden: N.V. E.J. Brill. 1918). hlm. 129. Dalam einsiklopedi tersebut dikatakan bahwa aktivitas bongkar muat serta arus pelayaran di Balikpapan cenderung meningkat, antara tahun 1913 hingga 1915. Pada tahun 1913 jumlah total barang yang diimpor masuk ke Balikpapan sebesar 1.853.893 M3, merupakan impor yang tertinggi di Kalimantan pada masa itu dibandingkan dengan residen Banjarmasin. Pada tahun 1915 arus barang yang masuk melalui aktivitas bongkar muat perkapalan mengalami peningkatan sebesar 2.002.442 M3.
[4] Lihat, Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda. (Jakarta: Gramedia, 1987).hlm.232.
[5] Hendri F. Isnaeni & Apid. Op.cit. hlm. 15.

Jumat, 12 November 2010

Martin Luther (1483 – 1546) dan Sejarah

Salah satu tokoh yang memiliki peran penting dalam bidang historiografi abad pertengahan di Eropa ialah Marthin Luther, seorang reformis dari gereja katolik yang sangat berpengaruh. Hingga saat ini pengaruh pemikiran dari Martin Luther dapat dirasakan, yaitu munculnya gereja protestan di berbagai belahan penjuru dunia.

Latar Belakang
Marthin Luther lahir dengan dari pasangan Hans Luder dan Margerethe. Ia lahir di Eisleben, Jerman, pada tanggal 10 November 1483. Kemudian keesokan harinya ia dibaptis bertepatan dengan hari Santo Martin. Ayahnya ialah seorang pekerja tambang, sedangkan ibunya seorang pedagang. Marthin Luther juga mempunyai beberapa saudara laki-laki dan perempuan, yang paling dekat dengan Marthin ialah Jacob.
Ayahnya yang mempunyai ambisi untuk menjadikan Marthin sebagai seorang pengacara akhirnya mengirimkannya untuk belajar di sekolah latin di Mansfeld. Pelajaran yang paling difokuskan dalam sekolah tersebut ialah Trivium, yaitu menyangkut tentang tata bahasa, retorikan serta logika dari ilmu pengetahuan. Pada tahun 1501 Marthin telah berumur 17 Tahun,dan atas permintaan ayahnya, iapun melanjutkan sekolahnya di universitas Erfurt untuk mempelajari perundang-undangan atau sekolah hukum. Setahun kemudian ia lulus dengan gelar sarjana filsafat. Ia segera melanjutkan kembali untuk mengambil gelar magisternya di sekolah hukum pada tahun 1505. 

Kemudian tanpa disadarinya ada suatu peristiwa yang mengubah jalan hidupnya, pada suatu hari ada sebuah badai petir yang menyambar didekatnya, Luther sangat ketakutan sehingga tanpa sadar ia memohon, “ tolonglah santa ana!, saya akan menjadi biarawan!” akhirnya Lutherpun selamat dan dalam waktu yang cukup singkat iapun meninggalkan sekolah hukumnnya, dan masuk menjadi biarawan di biara Saint Agustinian. Mengetahui hal tersbut ayahnya sangat marah, namun Luther tetap melanjutkan kehidupannya sebagai biarawan.

Setelah menjadi biarawan Martin Luther mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Ia pun melakukan berbagai macam perbuatan baik, seperti puasa, berdoa selama berjam-jam, menolong orang, menyiksa dirinyam, mengakui semua dosa-dosanya dan mengunjungi makam para santo. Semakin ia berusaha dekat dengan Tuhannya, maka ia merasa semakin mengetahui akan keberadaannya yang penuh dosa. Kekuatiran Martin yang terlalu berlebihan membuat atasannya menyuruh Martin untuk mengembangkan karirnya sebagai akademisi.
Pada tahun 1507 Martin ditasbihkan menjadi imam, Pada 1508 ia mulai mengajar teologi di Universitas Wittenberg. Luther mendapatkan gelar sarjananya dalam Studi Alkitab pada 9 Maret 1508, dan gelar sarjananya dalam Sentences karya Petrus Lombardus (buku ajar teologi yang terutama pada Zaman Pertengahan), pada 1509. Pada 9 Oktober 1512, Martin Luther menerima gelar Doktor Teologinya dan pada 21 Oktober 1521, ia "diterima menjadi anggota senat dosen teologi" dan diangkat menjadi Doktor dalam Kitab Suci .

Pemikiran Reformasi Martin Luther

Untuk mendapatkan gelar-gelar akademik dan bahan-bahan yang diajarkan untuk kuliah, mengharuskan Martin Luther mengkaji alkitab lebih mendalam. Karena terpengaruh seruan humanisme ad fontes “kembali kepada sumbernya”, maka luther kembali mempelajari lebih mendalam alkitab dan birokrasi gereja. Sehingga kata kebenaran dan penyesalan tidak lagi asing dalam benaknya, selain itu kedua kata tersebut mendapatkan makna baru bagi Luther, sehingga iapun menjadi yakin bahwa selama ini gereja telah keliru tentang doktrin pembenaran hanya melalui iman semata. Luther akhirnya mulai mengajarkan bahwa keselamatan ialah anugerah dari Tuhan semata, yang diberikan melalui perantara kristus yang akhirnya diterima melalui iman. Dalam artikelnya ia juga menjelaskan bahwa konsep keadailan ialah sebagai berikut: 

Jesus Christ, our God and Lord, died for our sins and was raised again for our justification (Romans 3:24-25). He alone is the Lamb of God who takes away the sins of the world (John 1:29), and God has laid on Him the iniquity of us all (Isaiah 53:6). All have sinned and are justified freely, without their own works and merits, by His grace, through the redemption that is in Christ Jesus, in His blood (Romans 3:23-25). This is necessary to believe. This cannot be otherwise acquired or grasped by any work, law or merit. Therefore, it is clear and certain that this faith alone justifies us ... Nothing of this article can be yielded or surrendered, even though heaven and earth and everything else falls (Mark 13:31) 

Selain itu Luther juga mendefinisikan dan memperkenalkan kembali prinsip tentang pembedaan yang semestinya antara Hukum Taurat dan Injil yang mendasari teologinya tentang anugerah. Secara keseluruhan, Luther percaya bahwa prinsip penafsiran ini merupakan titik awal yang penting dalam mempelajari Kitab Suci . Luther juga melihat adanya kegagalan untuk membedakan Hukum Taurat dan Injil, yang semestinya kedua hukum tersebut berfungsi sebagai sumber penghalam Injil Yesus di Gereja pada masanya, dan akhirnya menyebabkan munculnya berbagai kesalahan teologis yang mendasar, dan berakibat terhadap berbagai kebijakan gereja yang menurutnya juga tidak sesuai dengan alkitab. Ketidakpuasan dan keluhan-keluhan Martin Luther terhadap Gereja Katolik Roma timbul setingkat demi setingkat. Di tahun 1510 dia melakukan lawatan ke Roma. Sampai di situ dia terbengong-bengong kaget bukan kepalang menyaksikan pemborosan dan kemewahan duniawi para pendeta gereja Katolik. Titik ketidakpuasan tersebut akhirnya tercapai ketika pada tahun 1516 sampai dengan tahun 1517, ketika Johann Tetzel seorang imam Dominikan, ditugasi berkeliling di seluruh wilayah keuskupan Uskup Agung Albert dari Mainz, untuk mempromosikan dan menjual indulgensia untuk merenovasi Basilika St. Petrus di Roma. Tetzel sangat berhasil dalam hal ini. Ia menganjurkan kepada para pembeli idulgensia : "Begitu mata uang bergemerincing di dalam kotak, jiwa yang sedang menanti di api penyucian pun akan terlepas" . Dengan cara ini akhirnya kepausan memperoleh dana untuk merenovasi basilica St. Petrus di Roma.

Idulgensia sendiri merupakan sebuah surat penghapusan sebagian atau seluruhnya dari penghukuman sementara orang-orang yang memiliki dosa, setelah adanya absolusi (pernyataan penghapusan dosa dari imam setempat). Sebenarnya praktek idulgnsia ini telah lama terjadi, namun praktek ini akhirnya telah disalahgunakan oleh oknum-oknum gereja. Kesalahan tersebut ialah bahwa idulgensia dapat diperjualbelikan secara bebas kepada masayrarakat umum, kesalahan besar inilah yang menyebabkan Martin Luther melakukan kritik terhadap gereja katolik Roma. Luther segera membuat 95 dalil yang yang secara teologis menentang adanya praktk tersebut, akan tetapi Luther tidak menentang kewenangan Paus untuk mengeluarkan Idulgensia. Tesis atau dalil tersebut akhirnya ditempelkan Martin Luther di gereja kasti Wittenberg. 95 tesis yang ditulis dengan bahasa latin dengan cepat diterjemahkan kedalam bahasa Jerman, karena pada waktu itu telah ditemukan mesin cetak, maka dalam 2 minggu pertama, tesis tersebut telah tersebar ke seluruh Jerman, dan dalam kurun waktu kurun 2 bulan tesis tersebut telah tersebar hampir keseluruh penjuru Eropa.

Akibat tesis yang ditulis Martin Luther tersebut maka kewibawaan Paus jatuh hampir diseluruh masyarakat Eropa, maka untuk mengantisipasi dan mengatasi permasalahan tersebut Paus Leo X akhirnya memerintahkan Sylvester Mazzolini, seorang profesor teologi Dominikan, yang juga dinamai Prierias (atau Prieras), sesuai dengan nama tempat kelahirannya Priero, pada 1518, untuk menyelidiki masalahnya. Prierias mengenali perlawanan Luther yang tersirat terhadap kewibawaan paus karena berbeda pendapat dengan bula kepausan. Karena itu ia menyatakan Luther sebagai penyesat, dan menulis bantahan ilmiah terhadap dalil-dalilnya. Bantahan ini menegaskan kewibawaan paus terhadap Gereja dan menolak setiap penyimpangan daripadanya yang dianggap sebagai ajaran sesat. Walaupun Paus telah mengutus seorang penasehat untuk memperingatkannya, akan tetapi usaha Paus seakan sia-sia karena Luther tetap bertahan terhadap pendiriannya, sehingga muncullah suatu konflik antara Luther dengan gereja Katolik Roma.
Karena ingin tetap memelihara hubungan baik dengan Luther, Paus membuat upaya terakhir untuk menyelesaikan konfliknya dengan Luther secara damai. Sehingga sebuah konferensi dengan pejabat-pejabat tinggi kepausan diadakan, konferensi ini diselenggarakan atas inisiatif Karl von Miltitz, konferensi tersebut diadakan di Altenburg pada Januari 1519, dalam konferensi tersebut akhirnya Luther sepakat untuk berdiam diri selama lawan-lawannya pun berdiam diri juga .
Pada awalnya Luther percaya bahwa dia akan dapat memperbaharui Gereja Katolik Roma dari dalam, dengan dalil-dalilnya. Akan tetapi Paus menganggap pendapatnya sesat dan membahayakan kedudukan Gereja Katolik Roma, sehingga akhirnya Paus menghukum Martin Luther dengan cara mengucilkannya (ekskomunikasi) dari Gereja Katolik Roma, dengan akta Exsurge Domine pada tanggal 15 Juni 1520. Pada Oktober 1520 Luther membakar ijazahnya di depan khalayak umum dan menunjukkan kesungguhan serta tekadnya bahwa dia tidak akan taat kepada Gereja Katolik Roma, kecuali Gereja Katolik Roma mau mentaati pemikirannya, bahwa harus diadakan suatu reformasi terhadap gereja Katolik Roma, sehingga Gereja Katolik Roma tidak lagi menyesatkan umatnya.


Pada tanggal 22 Januari 1521 Kaisar Charles V meresmikan persidangan imperial Diet of Worms. Dalam sidang ini merupakan peluang terakhir Luther untuk mengakui bahwa apa yang diajarkannya adalah salah. Namun Luther tetap bersikukuh untuk mempertahankan ajarannya. Selepas persidangan Diet, Luther dinyatakan sebagai orang buangan oleh Diet, sehingga orang-orang Jerman dilarang untuk memberinya makanan atau tempat tinggal dan membolehkan siapa saja untuk membunuh Martin Luther tanpa diberikan hukuman bagi orang yang membunuhnya. Dengan bantuan rekannya, Luther akhirnya dibawa secara diam-diam oleh penunggang kuda bertopeng, dan iapun dibawa ketempat tinggal yang baru, yaitu kastil Wartburg, berdekatan dengan Erfurt. Selama berada dalam kastil tersebut, ia menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru dari bahasa Yunani ke bahasa Jerman. Kemudian dia juga menerjemahkan Perjanjian Lama ke dalam bahasa Jerman.
Pada tanggal 13 Juni 1525 luther menikahi seorang biarawati yang bernama Katharina von Bora. Setelah menikah Luther dikarunia enam orang anak. Pernikahan Martin Luther membuktikan pemebrontakannya terhadap Gereja Katolik Roma, karena pada waktu itu biarawan dilarang menikah. Dengan segera pernikahan Luther akhirnya menjadi inspirasi bagi para pendeta atau biarawan yang memang sependapat dengannya, untuk melakukan prosesi pernikahan juga. Selama tahun 1531 hingga 1546 kesehatan Martin Luther semakin memburuk, hal ini disebabkan kelelahan yang dideritanya akibat perlawanannya terhadap gereja Katolik Roma. Akhirnya pada tanggal 18 Februari 1546 Martin Luther menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Kesimpulan

Martin Luther merupakan seorang yang sangat berpengaruh pada Zaman pertengahan di Eropa. Hasil pemikirannya yang berupa reformasi dalam Gereja Katolik Roma, telah menimbulkan suatau kegoncangan yang luar biasa hebat pada masyarakat Eropa pada masa itu. Ajaran yang ditawarkan Martin Luther akhirnya menyebabkan perpecahan dalam tubuh gereja Katolik Roma, sehingga muncullah sekte Kristen yang baru, yang disebut Kristen Protestan.
Selain itu Konsekuensi penting dari gerakan Pembaharuan ini adalah menyebar luasnya bentrokan agama bersenjata yang segera menyusul. Beberapa contoh dari perang agama (misalnya Perang Tiga Puluh Tahun di Jerman yang bermula tahun 1618 dan baru berakhir tahun 1648) sungguh-sungguh suatu peperangan berdarah yang menelan banyak korban. Bahkan selain bentrok senjata, pertentangan politik antara Katolik dan Protestan memegang peranan penting di arena politik Eropa selama beberapa abad mendatang. Namun setelah beberapa abad setelah adanya kebebasan berpikir dalam agama yang dijamin oleh negara, maka orang-orang dapat merasa aman apabila memiliki suatau perbedaan dalam melihat suatu konsep yang telah ada.






Sumber Penulisan :

 http://www.educ.msu.edu/homepages/laurence/reformation/Luther/Luther.htm
 http://www.ctsfw.edu/etext/luther/
 http://www.ccel.org/l/luther/
 http://www.susanlynnpeterson.com/luther/home.html
 http://www.hfac.uh.edu/gbrown/philosophers/leibniz/BritannicaPages/Luther/Luther.html
 http://www.greatsite.com/timeline-english-bible-history/martin-luther.html
 http://mb-soft.com/believe/txc/luther.htm
 http://www.luther-zentrum.de/reformer/
 http://en.wikipedia.org/wiki/Martin_Luther

Selasa, 09 November 2010

Etnis Tionghoa di Jawa Timur Pada Masa Pendudukan Jepang 1942 – 1945

Etnis Tionghoa di Jawa Timur Pada Masa Pendudukan Jepang 1942 – 1945



Pendahuluan
“Wound Healed, but scar remains”, This statement symbolizes the three and a half years of the ‘Greater East Asia Co-Prosperity’, which still lingers in the memories of people in southeast Asia, including Indonesia[1]
            Pembahasan mengenai dinamika sejarah yang terjadi pada masa pendudukan Jepang mengalami sedikit kesulitan, Hal ini dikarenakan sumber sejarah yang hilang akibat pergolakan pada masa peralihan kekuasaan dari pemerintah militer Jepang ke tangan sekutu. Oleh karena itu pembahasan dalam makalah ini tidak mampu menjawab rumusan masalah yang diajukan secara lebih mendalam.
            Ketika berangkat dari permasalahan minoritas etnis Tionghoa di Indonesia, maka timbul suatu pertanyaan di dalam benak kita yang mengarah pada perubahan, perkembangan, dan sepak terjang sejarah etnis Tionghoa itu sendiri. Namun, permasalahan itu tidak hanya menyangkut ruang lingkup warga etnis Tionghoa saja. Tetapi juga menyangkut peran serta penguasa-penguasa di Indonesia yang berkuasa pada masa-masa tertentu, seperti masa kerajaan-kerajaan Islam, masa kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, dan masa kontemporer pemerintahan di Indonesia. Sehingga, perlakuan yang diterima oleh etnis Tionghoa ditentukan kaum birokrasi yang berkuasa pada masa itu.
            Setelah restorasi Meiji Jepang mengalami perubahan yang sangat signifikan dalam berbagai bidang, dimulai dari adanya reformasi birokrasi yang menyebabkan adanya perubahan dalam berbagai system kehidupan masyarakat Jepang. Sistem yang paling berperan penting ialah munculnya reformasi pendidikan, seperti yang diketahui pendidikan merupakan dasar utama dalam sebuah kemajuan bangsa. Dengan modal tersebut Jepang mampu menyamai kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh bangsa Barat. Kemajuan tersebut juga didukung dengan doktrin Bushido.[2] Puncak kepercayaan diri orang-orang Jepang bertambah pada saat mereka merasa berhasil mensejajarkan diri mereka dengan bangsa barat, setelah mengalahkan Rusia dalam perang Sino-Jepang.
            Beberapa teori Sebelum Jepang melakukan invasinya ke Hindia Belanda, mereka telah lebih dulu melakukan tindakan spionase terhadap Hindia Belanda. Dalam sebuah literature disebutkan, bahwa terdapat beberapa golongan orang Jepang yang menyamar menjadi pedagang kelontong, dengan membuka kios-kios dagang, layaknya seperti orang-orang Tionghoa. Pada saat itu pemerintah colonial Belanda telah menyamakan status dan kedudukan orang-orang Jepang dengan orang-orang Barat. Pada tahun 1931 Jepang mengadakan devaluasi terhadap mata uangnya, dengan pemberlakuan devaluasi ini maka barang-barang impor dari Jepang membanjiri berbagai kawasan, termasuk di Hindia Belanda. Hal ini diikuti dengan penanaman Modal Jepang di Indonesia, serta meningkatnya jumlah imigran yang datang ke Indonesia[3]
            Pada masa pendudukan Jepang perlakuan yang diterima oleh etnis Tionghoa hampir sama seperti pada masa pemerintahan Belanda, terutama masalah diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah Jepang terhadap orang-orang Tionghoa baik totok maupun peranakan. Dalam memperhatikan kebijakan yang yang dilakukan oleh etnis Tionghoa dapat dikategorikan menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah ketika Jepang masih unggul disemua front pertempuran. Dalam tahapan ini Jepang hanya membutuhkan bahan-bahan mentah untuk industrinya, di samping membutuhkan tenaga manusia (termasuk wanita yang dipekerjakan sebagai penghibur) untuk dipekerjakan bagi kepentingan perang pasifik yang dilancarkan oleh Jepang.
            Tahap kedua ialah pada saat perdana menteri Tojo mengumumkan bahwa perang Pasifik memasuki keadaan yang paling kritis pada tanggal 16 Juni 1943. Sehingga kebijakan yang dilakukan pemerintah militer Jepang dinilai semakin agresif dan represif. Pada masa ini pula orang-orang Tionghoa diharuskan untuk menyumbangkan harta benda mereka yang berupa emas dan perhiasan lainnya yang sejenis untuk disumbangkan kepada pemerintah militer Jepang.
            Dinamika etnis Tionghoa di Indonesia pada masa pendudukan Jepang merupakan salah satu dari lembaran sejarah yang belum banyak diungkapakan, terlebih lagi pada zaman orde baru dimana posisi dan keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia sangat dipinggirkan. Padahal secara empiris etnis Tionghoa juga terbukti ikut berperan dalam dinamika historiografi di Indonesia. Sehingga masih diperlukan studi yang lebih mendalam dan komperhensif untuk menguak fakta-fakta yang masih belum ditemukan.

           
Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kondisi sosial masyarakat Tionghoa pada masa menjelang dan saat pendudukan Jepang?
2.      Bagaimana  perbedaan perlakuan yang diterima terhadap etnis Tionghoa pada masa Kolonial, dan masa pendudukan Jepang, di Surabaya?

Tujuan
            Setidaknya dalam makalah yang singkat ini dapat diketahui mengenai keadaan etnis Tionghoa pada masa menjelang dan saat Jepang berkuasa di Indonesia, walaupun tidak terlalu mendetail, namun dari uraian yang dipaparkan secara garis besar ini mampu mendorong minat serta kekritisan teman-teman untuk mampu mengungkap lebih dalam, mengenai keberadaan dan peran serta etnis Tionghoa di Surabaya, terutama pada masa pendudukan Jepang.

Ruang Lingkup Makalah
            Dalam makalah ini aspek periodisasi waktunya dibatasi pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, khususnya propinsi Jawa Timur, yang terjadi antara kurun waktu 1942 hingga 1945. Dalam aspek spasial pembahasan memang difokuskan kepada propinsi Jawa Timur, namun berhubung terdapat keterbatasan sumber, maka pemakalah hanya merepresentasikan dengan dua kota yang ada di Jawa Timur, yaitu kota Malang dan Surabaya.   







Pembahasan

Etnis Tionghoa Masa Kolonial
Pada saat kebijakan Wijkenstelsel dan Passenstelsel diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda, kehidupan masyarakat Timur Asing di Jawa mulai tersekat-sekat dan terlokalisir. Masyarakat Timur Asing yang terdiri dari etnis Tionghoa, Arab, Melayu, dan lain-lain mengalami kemunduran dalam bersosialisasi dengan masyarakat pribumi maupun masyarakat Eropa. Hal ini juga berdampak tidak baik pada kelancaran bisnis orang-orang Timur Asing, terutama orang-orang Tionghoa. Ketika mereka harus berhubungan langsung dengan pihak luar, menjadi terhambat dengan adanya kebijakan yang merugikan roda perekonomian orang-orang Tionghoa tersebut. Tempat tinggal mereka yang sebelumnya tersebar di seluruh wilayah kota, menjadi tersentralisir di suatu tempat yang telah disediakan oleh pihak pemerintah kolonial. Hal ini umumnya terjadi di kota-kota kolonial besar, seperti Surabaya. Sehingga di tengah-tengah kota tersebut terdapat berbagai macam kampung orang Timur Asing yang mencerminkan kondisi sosial dan budaya masyarakat yang ditempatinya, seperti Kampung Cina (Pecinan) yang dihuni oleh orang-orang Tionghoa, Kampung Arab yang dihuni oleh orang-orang Arab, Kampung Melayu yang dihuni oleh orang-orang pribumi, dan lain-lain. Pecinan di Surabaya terpusat di daerah Kapasan, Kembang Jepun, dan di sekitar tepi Kalimas dengan membangun ruko-ruko (rumah toko). Kampung Arab terpusat di daerah Ampel. Ketika mereka ingin keluar ataupun masuk ke daerah lain, maka mereka harus memiliki surat izin lewat/pass. Diterapkannya kebijakan Wijkenstelsel dan Passenstelsel ini agar pemerintah kolonial Belanda lebih mudah dalam memantau gerak-gerik dan aktivitas keseharian orang-orang Timur Asing tersebut.
Masyarakat Jawa mengenal orang-orang Tionghoa/Cina berdasarkan keturunannya, yaitu Tionghoa/Cina Peranakan dan Tionghoa/Cina Totok. Tionghoa Peranakan adalah orang-orang Tionghoa yang memiliki ayah seorang Cina dan ibu seorang pribumi. Bisa juga seorang Tionghoa yang memiliki anak di Jawa yang tidak bisa menulis dan berbahasa Cina. Sedangkan Tionghoa Totok adalah orang-orang Tionghoa murni, tanpa adanya perkawinan campuran. Biasanya Cina Totok menggunakan bahasa dan huruf Cina dalam kehidupan sehari-harinya. Masing-masing dari keduanya memiliki cerminan budaya tersendiri, yang juga dapat membedakan mereka tergolong Cina Peranakan atau Totok. Peranakan sudah terpengaruh dengan westernisasi, sehingga cara berperilaku, cara bergaul, cara berpakaian, sampai penggunaan nama pun mengadopsi dari budaya Barat. Sedangkan Totok masih memegang kuat budaya nenek moyangnya dari Cina. Mereka tidak mudah terpengaruh dengan budaya lain yang melekat di negeri yang mereka injak. Tidak jarang orang Cina Peranakan dan Totok saling berseberang persepsi mengenai diri mereka sendiri. Peranakan menganggap orang Totok sebagai orang Cina yang kolot, tidak bisa berbaur dengan masyarakat sekitar, dan selera berpakaiannya kuno. Begitu juga sebaliknya, orang-orang Totok menganggap orang-orang Peranakan sebagai orang-orang Cina yang tidak bisa menjunjung tinggi nilai-nilai budaya nenek moyangnya di negeri orang. Mereka dianggap telah mengkhianati budaya aslinya sendiri.
Ada suatu istilah yang ditujukan kepada masyarakat Tionghoa, dimana penyebutan istilah ini hanya berlaku di Pulau Jawa. Mereka memanggil orang-orang Cina yang baru datang ke Jawa dengan sebutan Singkeh atau tamu baru. Orang-orang Singkeh tidak hanya datang sebagai orang miskin, tetapi setelah berhasil mengumpulkan uang pun, mereka mengirimkan sebagian uang mereka ke negeri Cina untuk menunjang kehidupan keluarga mereka atau membeli barang-barang yang akan mereka butuhkan setelah mereka nanti kembali ke Cina.[4]
Cina Peranakan
Masyarakat Peranakan terdiri atas orang-orang Cina yang lahir dan dianggap menetap di Jawa. Pada abad ke-19, sebagian besar dari mereka merupakan orang Cina yang berdarah campuran, karena baru pada tahun-tahun sesudahnya ada wanita-wanita Cina yang ikut beremigrasi ke Jawa. Orang-orang Cina Peranakan itu tidak bisa berbahasa Cina karena telah kehilangan bahasa ibunya pada generasi ketiga atau generasi sesudahnya, kalaupun tidak pada generasi kedua.[5] Mereka menerima adat setempat sebagai hasil pengaruh dari ibu mereka, tetapi belum berasimilasi secara menyeluruh ke dalam masyarakat pribumi.
Hubungan erat dengan orang-orang Eropa atau Belanda sangat mempengaruhi budaya masyarakat Peranakan. Akibatnya, kaum Cina Peranakan kelas atas mengadopsi penuh terhadap budaya Eropa. Mereka rela memotong kuncirnya, memakai pakaian ala Eropa, dan memakai nama depan Eropa demi mendapatkan simpati dari orang-orang Eropa di Jawa. Bahkan mereka dalam kesehariannya menggunakan bahasa Belanda. Pada abad ke-20, ketika kemungkinan untuk menjadi warga negara Belanda, orang Cina Peranakan banyak yang berusaha untuk menjadi warga negara Belanda dan kemudian memperoleh status sebagai orang Eropa.
Cina Totok
Ada dua pendapat mengenai pemahaman dari orang Cina Totok. Pendapat pertama, sebagian ahli sejarah menjelaskan bahwa Cina Totok merupakan orang Cina yang terlahir di negeri Cina, lalu merantau ke Nusantara. Mereka orang-orang Cina yang terlahir di Indonesia digolongkan dalam Cina Peranakan. Pendapat kedua, ada yang menjelaskan bahwa Cina Totok adalah orang Cina yang lahir di Indonesia dan berbahasa Cina. Orang-orang Cina yang terlahir di negeri Cina dan datang ke Indonesia disebut Singkeh atau tamu baru. Sedangkan orang-orang Cina yang tinggal di Indonesia dan berbahasa setempat, tergolong dalam Cina Peranakan.
Kedua pendapat ini memang sedikit membingungkan jika tidak diperhatikan secara langsung perbedaan status mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal berpakaian, Cina Totok masih menggunakan pakaian adat orang-orang Tionghoa di negeri Cina. Seperti wanitanya yang menggunakan baju kurung dengan lengan panjang dan longgar di bagian ujungnya. Sedangkan untuk prianya, memiliki gaya potongan rambut kuncir dikepang ke belakang, menyerupai ekor babi. Mereka tetap menggunakan bahasa Cina dalam keseharian, terutama dengan keluarga besarnya. Mereka juga kurang lihai dalam bergaul dengan orang-orang pribumi maupun orang-orang Eropa. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka lebih sering dan akrab bergaul dengan sesama Cina Totok. Sehingga hubungan interaksi dengan masyarakat pribumi dan Eropa hanya terbatas dalam ruang lingkup bisnis dan perdagangan saja.
Jauh dan jarangnya interaksi Cina Totok dengan orang-orang Eropa/Belanda menyebabkan bisnis mereka kurang lancar. Beda dengan Cina Peranakan yang memang terkesan ‘western’ dalam gaya hidupnya, mereka cukup mendominasi di dalam sektor perekonomian kota Surabaya. Hal ini dikarenakan mereka sering berinteraksi dan berbisnis dengan orang-orang Eropa. Dan orang-orang Eropa sendiri merasa nyaman berbisnis dengan mereka. Namun, kondisi demikian akan berbalik ketika Belanda mengalami krisis di awal tahun 1940 an yang berbuntut dengan menyerahnya terhadap Jepang. Disini kaum Cina Totok mulai mendominasi sektor perekonomian di Surabaya, karena mereka mulai melakukan transaksi bisnis dengan orang Jepang dan pribumi, serta hubungan kolegial yang semakin baik dan terjaga.


Masa Pendudukan Jepang
1.Proses Masuknya Jepang ke Hindia Belanda
            Pada saat Jerman telah berhasil menduduki negeri Belanda pada saat perang dunia ke dua, maka Jepang sebagai salah satu sekutu dari Jerman merasa percaya diri untuk mengajukan nota kepada pemerintah colonial Hindia Belanda. Pada awalnya hanya diajukan 4 poin dari nota yang bersifat memaksa pemerintah colonial Hindia Belanda untuk memenuhi tuntutan kepentingan Jepang[6]. Pada tahun 1940, sikap Jepang semakin lebih agresif lagi, mereka meminta kepada pemerintah colonial Hindia Belanda untuk menjamin suplai bahan mentah yang sangat penting bagi kebutuhan industry serta militer Jepang, seperti Minyak tanah, Bauksit, Karet dan Bahan-bahan sejenisnya. Jepang juga mengirimkan delegasinya, untuk berunding dengan pemerintah colonial Belanda menyangkut pemenuhan terhadap permintaan Jepang, sehingga penguasaan secara militer dapat dihindarkan, namun hal ini gagal. Selain itu Jepang juga mulai melakukan program doktrinnya, “ Kemakmuran Bersama Asia Raya!” dengan semboyan yang terkenal yaitu gerakan 3A. Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang Cahaya Asia.
            Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sebenarnya mengetahui cepat atau lambat, bahwa Jepang pasti akan mengincar Indonesia untuk dikuasai, karena Indonesia memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Hanya saja pemerintah colonial Hindia Belanda tidak memiliki usaha yang cukup matang untuk mengantisipasi invasi Jepang terhadap wilayah Hindia Belanda. Hal ini diperparah dengan sikap pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang sangat kaku, terutama dalam membangun kekuatan komunikasi dan konsolidasi dengan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia. Sehingga walaupun pemerintah colonial Hindia Belanda mengumumkan keadaan darurat perang kepada seluruh warga pribumi, dan diharuskan untuk memerangi Jepang. Namun usaha tersebut sia-sia, karena gerakan propaganda yang dilakukan oleh tentara Jepang mampu menarik perhatian masyarakat luas, termasuk tokoh-tokoh pergerakan Indonesia.
            Sehingga pada saat tentara Jepang mulai memasuki wilayah Hindia Belanda, hamper sebagaian besar menyambut kedatangan mereka, sebagai tentara pembebasan, yang telah membebaskan mereka dari tangan penjajah dan akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia.
2.Represifitas Pemerintah Jepang Terhadap Etnis Tionghoa
            Pada saat Jepang berkuasa di Indonesia, mereka memberikan perlakuan yang khusus kepada etnis Tionghoa, dengan menjalankan “Politik Tionghoa untuk Tionghoa”[7]. Dalam pelaksanaannya pemerintah militer Jepang melakukan pengawasan yang sangat ketat terhadap gerak-gerik etnis Tionghoa. Untuk itulah mereka diwajibkan untuk mendaftarkan diri. Bagi mereka yang telah mendaftarkan diri kemudian diberikan semacam “kartu kuning” yaitu semacam kartu yang terbuat dari karton bewarna kuning.
            Selama pendudukan Jepang, timbul beberapa persoalan dikalangan etnis Tionghoa, baik peranakan maupun totok. Dalam hal ini apahkah mereka akan mengadakan perlawanan, atauhkah mereka akan mengakui kekuasaan tentara pendudukan Jepang. Memang dikalangan Tionghoa juga terdapat sentiment anti Jepang,  untuk mengatasi meluasnya sentiment anti Jepang maka pemerintah pendudukan Jepang juga menyusupi mata-mata dikalangan etnis Tionghoa. Selain itu tentara pendudukan Jepang juga mengadakan pemberedelan terhadap majalah-majalah yang dianggap membahayakan stabilitas tentara pendudukan Jepang. Penangkapan juga dilakukan kepada semua tokoh pergerakan Tjin Tjay Hwee dan semua wartawan Tionghoa, baik totok maupun peranakan. Penangkapan-penangkapan tersebut dilakukan serentak di seluruh pulau Jawa. Mereka yang tertangkap kemudian dikumpulkan menjadi satu dengan orang-orang Belanda juga dalam kamp tawanan perang di Cimahi, Jawa Barat.
Pendirian PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) bagi rakyat Pribumi merupakan salah satu usaha dari pihak Jepang untuk mengkonsolidasi masa dan mengerahkan mereka pada saat dibutuhkan. Untuk etnis Tionghoa juga didirikan ‘Kakyo Shokai’ (科挙 初回). Orang Tionghoa yang berpendidikan Belanda pada masa ini juga mengalami tekanan yang sangat kuat. Golongan Tionghoa yang dulunya terpecah belah menjadi dua golongan, yaitu golongan yang telah menerima pendidikan Belanda dan golongan yang belum, pada masa ini dipaksa untuk bersatu[8].
            Penggunaan segala sesuatu yang berbau Belanda dilarang, termasuk penggunaan bahasa, nama, sampai papan nama kios atau tokopun harus diubah kedalam bahasa Mandarin. Hal ini menyebabkan perstise Cina totok lebih meningkat, karena hampir semua Cina peranakan tidak mengetahui bahasa dan tulisan leluhurnya. Sedangkan anak-anak Cina yang memiliki darah campuran antara Cina dan Eropa cenderung mendapatkan perlakuan yang lebih lunak. Sementara kegiatan Eropanisasi terhenti untuk sementara terhenti, bagi masyarakat Tionghoa yang telah mendapatkan status sebagai warga Eropa akan mengalami perlakuan yang sangat ketat dari pemerintah pendudukan Jepang, seperti penyitaan secara sepihak, bahkan terdapat kekerasan fisik yang dilakukan oleh tentara pendudukan Jepang, apabila mereka ketahuan tidak menggunakan bahasa China, atau pada saat mereka ditanyai nama, mereka tidak dapat menjawabnya dengan bahasa Mandarin.
3.Kondisi Sosial Masyarakat Tionghoa
            Pada saat tentara Belanda melakukan taktik bumi hangus, pemerintah colonial Hindia Belanda juga mengeluarkan perintah untuk membumihanguskan seluruh instalasi perindustrian, atau segala sesuatu yang dapat dipergunakan oleh Jepang untuk keperluan perangnya maka akan dibumu hanguskan oleh tentara Belanda.
            Pada saat terjadinya kekacauan tersebut, banyak etnis Tionghoa yang melakukan pengungsian kekawasan pedalaman dengan membawa perlengkapan kebutuhan hidup seadanya. Sementara harta benda dan kekayaan mereka tinggalkan di kota. Pada saat itu banyak terjadi perampokan dan penjarahan terhadap Etnis Tionghoa baik totok dan peranakan. Salah satu hal yang menarik ialah, penjarahan tersebut ternyata juga dilakukan oleh tentara Belanda. Tentara Belanda pada saat itu mengambil seluruh barang-barang logistic dan membawanya, kemudian mereka meninggalkan took-toko tersebut dalam keadaan terbuka. Hal tersebut juga memprovokasi masyarakat untuk melakukan penjarahan juga. Sentimen anti Cina juga terlihat pada saat penjarahan ini.[9]
            Penjarahan yang dilakukan oleh tentara Belanda dan Pribumi membuat posisi perekonomian etnis Tionghoa semakin terjepit. Mereka mengalami banyak kerugian material. Setelah pemerintah pendudukan Jepang berkuasa, mereka memberikan jaminan keamanan bagi etnis Tionghoa baik Totok maupun Peranakan. Walaupun telah mendapat jaminan keamanan, namun mereka masih harus wajib menyetorkan sumbangan berupa barang beharga lainnya, untuk kepentingan perang Asia Timur Raya yang dikobarkan Jepang.
            Nasib yang lebih buruk menimpa etnis Tionghoa yang memiliki warga Negara Belanda. Dalam hal ini harta benda mereka yang berharga langsung disita oleh tentara pendudukan militer Jepang, serta mereka ditangkap dan diasingkan dalam kamp tawanan perang bersama dengan orang-orang Belanda lainnya.
            Pada masa pendudukan Jepang perdaganggan mengalami penurunan yang sangat drastic, hal ini disebabkan akibat rusaknya bangunan produksi pabrik-pabrik, serta tidak adanya  jaminan keamanan menyebabkan distribusi barang sangat sulit. Namun bagi pedagang Tionghoa yang pro dengan pemerintah pendudukan militer Jepang, serta memiliki modal yang kuat. Maka mereka masih tetap diizinkan untuk mengadakan aktivitas perdagagngan mereka, walaupun pada umumnya aktivitas tersebut diarahkan untuk memenuhi kebutuhan tentara Jepang, dan mereka dilarang mengambil keuntungan dari perdagangan itu. Akibatnya timbullah pasar gelap pada masa pendudukan Jepang.

Kesimpulan
            Ketika pasukan Jepang tiba di Jawa, khususnya di Surabaya pada 1942, warga Tionghoa Totok dan Peranakan memiliki perbedaan perlawanan atas kedatangan tentara Jepang tersebut. Cina Totok ingin menunjukkan solidaritas dan patriotismenya terhadap penderitaan saudaranya di Tiongkok. Hal ini dilatarbelakangi oleh peristiwa penyerbuan tentara Jepang ke Tiongkok pada 1931. Aksi perlawanan mereka tetap berlanjut ketika Jepang benar-benar menduduki Surabaya. Mereka tetap tidak mau bekerjasama dengan Jepang. Sedangkan Cina Peranakan berpendapat bahwa lebih mudah membantu melawan gerakan fasisme Jepang di tanah Jawa, daripada mengirim bantuan ke Tiongkok. Cina Peranakan juga tidak mengingkari adanya usaha untuk bekerjasama dengan Jepang jika memang terpaksa, dan itu dilakukan untuk mendapatkan keselamatan diri.[10]
Perbedaan pandangan antara Cina Totok dan Cina Peranakan juga terjadi ketika pada masa kolonial Belanda. Ketika itu, warga Peranakan kondisi ekonominya lebih makmur daripada warga Totok. Hal ini dikarenakan warga Peranakan memiliki hubungan yang sangat baik dengan orang-orang Eropa/Belanda. Sehingga bisnis dan aktivitas perekonomian warga Peranakan menjadi lebih lancar. Berbeda dengan warga Totok, mereka lebih tertutup dengan orang luar, yang membawa dampak pada kelancaran ekonomi perdagangan mereka. Sehingga pada masa kolonial, warga Totok hanya memiliki usaha tingkat menengah ke bawah. Kondisi ini akhirnya menimbulkan dampak yang tidak baik diantara keduanya. Mereka sering berselisih tentang norma-norma budaya Cina, masalah pajak, dan masalah prinsip.
Jika ditinjau dari kasus yang dialami warga Cina Totok dan Cina Peranakan dari masa ke masa, ternyata mereka juga tidak jauh berbeda dengan warga Indonesia. Warga Tionghoa juga sangat plural, meskipun mereka lahir dalam satu ras, Mongoloid. Mereka memiliki ikatan emosional yang berbeda mengenai budaya dan tradisi nenek moyangnya. Mereka juga berbeda pandangan mengenai gaya hidup dan pengaruh westernisasi. Pergantian penguasa (dari Belanda, Jepang, hingga Indonesia merdeka) juga mendapat respons yang berbeda pula dari warga Tionghoa di Indonesia, khususnya Surabaya. Menurut mereka, masing-masing penguasa membawa keuntungan dan kerugian dalam menerapkan kebijakan-kebijakannya yang berhubungan dengan eksistensi warga Tionghoa, khususnya di Surabaya.
            Pada masa Jepang etnis Tionghoa juga dieksploitasi untuk kepentingan Jepang, sehingga dapat diketahui bahwa selama dua masa, yaitu pada masa colonial dan pendudukan Jepang. Keberadaan etnis Tionghoa tetap dibutuhkan, khususnya mengenai peran serta fungsi ekonomi yang sangat penting bagi siapapun yang berkuasa di Hindia Belanda, namun hal yang sangat disayangkan ialah, kurangnya historiografi mengenai aktivitas mereka yang cukup berpengaruh dalam perjalanan sejarah bangsa ini.





 Ucapan Terima Kasih
Bu Shinta, Pak Wie. Wisnu Wardhana, Arief Wicaksono, dan 2 orang temen Mahasiswi China Zhang cong (Mariana) dan Shao Jain Li (Safira) yang udah mw panas2an mengikuti kami mencari data di berapa kelenteng dan kawasan pecinaan di Surabaya. hehehehe >.<


Daftar Pustaka
.
Djin, Siauw Tiong. Siauw Giok Tjhan: Perjuangan Seorang Patriot Membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika. Jakarta: Hasta Mitra. 1999.
Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Tiara Wacana. 2003.
                        . Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta : Bentang. 1995.
                        . Penjelasan Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2008.
Noordjanah, Andjarwati. Komunitas Tionghoa di Surabaya 1900 – 1946. Semarang: Mesiass. 2004.
Onghokham. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Tionghoa. Jakarta: Komunitas Bambu. 2008.
                        .  Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu. 2008.
Post, Peter etc. Japan Indonesia and The War. Leiden : KITLV Press. 1997.
Sakamoto, Taro.. Jepang Dulu dan Sekarang. Terj Sylvia Tiwon. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982.
Tjhan, Siauw Giok. Lima Jaman: Perwujudan Integrasi Wajar. Jakarata: Yayasan Teratai. 1981
Yang, Twang Peck. Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940 – 1945. Yogyakarta: Niagara. 2004.
Skripsi
Azis, Yusniardi Setiawan. Orang-orang Tionghoa di Malang. Jakarta: Skripsi Tidak diterbitkan, 2007.
Majalah
Sinpo,  24 Januari 1942
            , 28 Februari 1942



[1] Peter Post dan Elly Touwen, Japan Indonesia and The War. (Leiden: KITLV Press, 1997),hlm 14.
[2] Sifat kstaria yang menyangkut mengenai kedisiplinan, keberanian, dan pengabdian. Lihat, Inazo, Nitobe. Bushido: The Soul of Japan. Terj. Antonius
[3]Siauw Giok Tjhan. Lima Jaman: Perwujudan Integrasi Wajar. (Jakarata: Yayasan Teratai.1981),hlm.67.

[4] Onghokham, Anti Cina, Kapitalisme Cina, dan Gerakan Cina, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 66.
[5] Ibid, hlm. 66.
[6] Lihat, Siauw Giok Tjhan.Op.cit.hlm.67 – 68.
[7] Ibid.hlm.70.
[8] Ibid.hlm.71.
[9] Lihat, Twang Peck Yang. Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940 – 1945.(Jakarta:Niagara. 2005).hlm.87-88.
[10][10] Andjarwati Noordjanah, Komunitas Tionghoa di Surabaya 1900-1946, (Semarang: Mesiass, 2004), hlm. 84.