Selasa, 09 November 2010

Etnis Tionghoa di Jawa Timur Pada Masa Pendudukan Jepang 1942 – 1945

Etnis Tionghoa di Jawa Timur Pada Masa Pendudukan Jepang 1942 – 1945



Pendahuluan
“Wound Healed, but scar remains”, This statement symbolizes the three and a half years of the ‘Greater East Asia Co-Prosperity’, which still lingers in the memories of people in southeast Asia, including Indonesia[1]
            Pembahasan mengenai dinamika sejarah yang terjadi pada masa pendudukan Jepang mengalami sedikit kesulitan, Hal ini dikarenakan sumber sejarah yang hilang akibat pergolakan pada masa peralihan kekuasaan dari pemerintah militer Jepang ke tangan sekutu. Oleh karena itu pembahasan dalam makalah ini tidak mampu menjawab rumusan masalah yang diajukan secara lebih mendalam.
            Ketika berangkat dari permasalahan minoritas etnis Tionghoa di Indonesia, maka timbul suatu pertanyaan di dalam benak kita yang mengarah pada perubahan, perkembangan, dan sepak terjang sejarah etnis Tionghoa itu sendiri. Namun, permasalahan itu tidak hanya menyangkut ruang lingkup warga etnis Tionghoa saja. Tetapi juga menyangkut peran serta penguasa-penguasa di Indonesia yang berkuasa pada masa-masa tertentu, seperti masa kerajaan-kerajaan Islam, masa kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, dan masa kontemporer pemerintahan di Indonesia. Sehingga, perlakuan yang diterima oleh etnis Tionghoa ditentukan kaum birokrasi yang berkuasa pada masa itu.
            Setelah restorasi Meiji Jepang mengalami perubahan yang sangat signifikan dalam berbagai bidang, dimulai dari adanya reformasi birokrasi yang menyebabkan adanya perubahan dalam berbagai system kehidupan masyarakat Jepang. Sistem yang paling berperan penting ialah munculnya reformasi pendidikan, seperti yang diketahui pendidikan merupakan dasar utama dalam sebuah kemajuan bangsa. Dengan modal tersebut Jepang mampu menyamai kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh bangsa Barat. Kemajuan tersebut juga didukung dengan doktrin Bushido.[2] Puncak kepercayaan diri orang-orang Jepang bertambah pada saat mereka merasa berhasil mensejajarkan diri mereka dengan bangsa barat, setelah mengalahkan Rusia dalam perang Sino-Jepang.
            Beberapa teori Sebelum Jepang melakukan invasinya ke Hindia Belanda, mereka telah lebih dulu melakukan tindakan spionase terhadap Hindia Belanda. Dalam sebuah literature disebutkan, bahwa terdapat beberapa golongan orang Jepang yang menyamar menjadi pedagang kelontong, dengan membuka kios-kios dagang, layaknya seperti orang-orang Tionghoa. Pada saat itu pemerintah colonial Belanda telah menyamakan status dan kedudukan orang-orang Jepang dengan orang-orang Barat. Pada tahun 1931 Jepang mengadakan devaluasi terhadap mata uangnya, dengan pemberlakuan devaluasi ini maka barang-barang impor dari Jepang membanjiri berbagai kawasan, termasuk di Hindia Belanda. Hal ini diikuti dengan penanaman Modal Jepang di Indonesia, serta meningkatnya jumlah imigran yang datang ke Indonesia[3]
            Pada masa pendudukan Jepang perlakuan yang diterima oleh etnis Tionghoa hampir sama seperti pada masa pemerintahan Belanda, terutama masalah diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah Jepang terhadap orang-orang Tionghoa baik totok maupun peranakan. Dalam memperhatikan kebijakan yang yang dilakukan oleh etnis Tionghoa dapat dikategorikan menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah ketika Jepang masih unggul disemua front pertempuran. Dalam tahapan ini Jepang hanya membutuhkan bahan-bahan mentah untuk industrinya, di samping membutuhkan tenaga manusia (termasuk wanita yang dipekerjakan sebagai penghibur) untuk dipekerjakan bagi kepentingan perang pasifik yang dilancarkan oleh Jepang.
            Tahap kedua ialah pada saat perdana menteri Tojo mengumumkan bahwa perang Pasifik memasuki keadaan yang paling kritis pada tanggal 16 Juni 1943. Sehingga kebijakan yang dilakukan pemerintah militer Jepang dinilai semakin agresif dan represif. Pada masa ini pula orang-orang Tionghoa diharuskan untuk menyumbangkan harta benda mereka yang berupa emas dan perhiasan lainnya yang sejenis untuk disumbangkan kepada pemerintah militer Jepang.
            Dinamika etnis Tionghoa di Indonesia pada masa pendudukan Jepang merupakan salah satu dari lembaran sejarah yang belum banyak diungkapakan, terlebih lagi pada zaman orde baru dimana posisi dan keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia sangat dipinggirkan. Padahal secara empiris etnis Tionghoa juga terbukti ikut berperan dalam dinamika historiografi di Indonesia. Sehingga masih diperlukan studi yang lebih mendalam dan komperhensif untuk menguak fakta-fakta yang masih belum ditemukan.

           
Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kondisi sosial masyarakat Tionghoa pada masa menjelang dan saat pendudukan Jepang?
2.      Bagaimana  perbedaan perlakuan yang diterima terhadap etnis Tionghoa pada masa Kolonial, dan masa pendudukan Jepang, di Surabaya?

Tujuan
            Setidaknya dalam makalah yang singkat ini dapat diketahui mengenai keadaan etnis Tionghoa pada masa menjelang dan saat Jepang berkuasa di Indonesia, walaupun tidak terlalu mendetail, namun dari uraian yang dipaparkan secara garis besar ini mampu mendorong minat serta kekritisan teman-teman untuk mampu mengungkap lebih dalam, mengenai keberadaan dan peran serta etnis Tionghoa di Surabaya, terutama pada masa pendudukan Jepang.

Ruang Lingkup Makalah
            Dalam makalah ini aspek periodisasi waktunya dibatasi pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, khususnya propinsi Jawa Timur, yang terjadi antara kurun waktu 1942 hingga 1945. Dalam aspek spasial pembahasan memang difokuskan kepada propinsi Jawa Timur, namun berhubung terdapat keterbatasan sumber, maka pemakalah hanya merepresentasikan dengan dua kota yang ada di Jawa Timur, yaitu kota Malang dan Surabaya.   







Pembahasan

Etnis Tionghoa Masa Kolonial
Pada saat kebijakan Wijkenstelsel dan Passenstelsel diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda, kehidupan masyarakat Timur Asing di Jawa mulai tersekat-sekat dan terlokalisir. Masyarakat Timur Asing yang terdiri dari etnis Tionghoa, Arab, Melayu, dan lain-lain mengalami kemunduran dalam bersosialisasi dengan masyarakat pribumi maupun masyarakat Eropa. Hal ini juga berdampak tidak baik pada kelancaran bisnis orang-orang Timur Asing, terutama orang-orang Tionghoa. Ketika mereka harus berhubungan langsung dengan pihak luar, menjadi terhambat dengan adanya kebijakan yang merugikan roda perekonomian orang-orang Tionghoa tersebut. Tempat tinggal mereka yang sebelumnya tersebar di seluruh wilayah kota, menjadi tersentralisir di suatu tempat yang telah disediakan oleh pihak pemerintah kolonial. Hal ini umumnya terjadi di kota-kota kolonial besar, seperti Surabaya. Sehingga di tengah-tengah kota tersebut terdapat berbagai macam kampung orang Timur Asing yang mencerminkan kondisi sosial dan budaya masyarakat yang ditempatinya, seperti Kampung Cina (Pecinan) yang dihuni oleh orang-orang Tionghoa, Kampung Arab yang dihuni oleh orang-orang Arab, Kampung Melayu yang dihuni oleh orang-orang pribumi, dan lain-lain. Pecinan di Surabaya terpusat di daerah Kapasan, Kembang Jepun, dan di sekitar tepi Kalimas dengan membangun ruko-ruko (rumah toko). Kampung Arab terpusat di daerah Ampel. Ketika mereka ingin keluar ataupun masuk ke daerah lain, maka mereka harus memiliki surat izin lewat/pass. Diterapkannya kebijakan Wijkenstelsel dan Passenstelsel ini agar pemerintah kolonial Belanda lebih mudah dalam memantau gerak-gerik dan aktivitas keseharian orang-orang Timur Asing tersebut.
Masyarakat Jawa mengenal orang-orang Tionghoa/Cina berdasarkan keturunannya, yaitu Tionghoa/Cina Peranakan dan Tionghoa/Cina Totok. Tionghoa Peranakan adalah orang-orang Tionghoa yang memiliki ayah seorang Cina dan ibu seorang pribumi. Bisa juga seorang Tionghoa yang memiliki anak di Jawa yang tidak bisa menulis dan berbahasa Cina. Sedangkan Tionghoa Totok adalah orang-orang Tionghoa murni, tanpa adanya perkawinan campuran. Biasanya Cina Totok menggunakan bahasa dan huruf Cina dalam kehidupan sehari-harinya. Masing-masing dari keduanya memiliki cerminan budaya tersendiri, yang juga dapat membedakan mereka tergolong Cina Peranakan atau Totok. Peranakan sudah terpengaruh dengan westernisasi, sehingga cara berperilaku, cara bergaul, cara berpakaian, sampai penggunaan nama pun mengadopsi dari budaya Barat. Sedangkan Totok masih memegang kuat budaya nenek moyangnya dari Cina. Mereka tidak mudah terpengaruh dengan budaya lain yang melekat di negeri yang mereka injak. Tidak jarang orang Cina Peranakan dan Totok saling berseberang persepsi mengenai diri mereka sendiri. Peranakan menganggap orang Totok sebagai orang Cina yang kolot, tidak bisa berbaur dengan masyarakat sekitar, dan selera berpakaiannya kuno. Begitu juga sebaliknya, orang-orang Totok menganggap orang-orang Peranakan sebagai orang-orang Cina yang tidak bisa menjunjung tinggi nilai-nilai budaya nenek moyangnya di negeri orang. Mereka dianggap telah mengkhianati budaya aslinya sendiri.
Ada suatu istilah yang ditujukan kepada masyarakat Tionghoa, dimana penyebutan istilah ini hanya berlaku di Pulau Jawa. Mereka memanggil orang-orang Cina yang baru datang ke Jawa dengan sebutan Singkeh atau tamu baru. Orang-orang Singkeh tidak hanya datang sebagai orang miskin, tetapi setelah berhasil mengumpulkan uang pun, mereka mengirimkan sebagian uang mereka ke negeri Cina untuk menunjang kehidupan keluarga mereka atau membeli barang-barang yang akan mereka butuhkan setelah mereka nanti kembali ke Cina.[4]
Cina Peranakan
Masyarakat Peranakan terdiri atas orang-orang Cina yang lahir dan dianggap menetap di Jawa. Pada abad ke-19, sebagian besar dari mereka merupakan orang Cina yang berdarah campuran, karena baru pada tahun-tahun sesudahnya ada wanita-wanita Cina yang ikut beremigrasi ke Jawa. Orang-orang Cina Peranakan itu tidak bisa berbahasa Cina karena telah kehilangan bahasa ibunya pada generasi ketiga atau generasi sesudahnya, kalaupun tidak pada generasi kedua.[5] Mereka menerima adat setempat sebagai hasil pengaruh dari ibu mereka, tetapi belum berasimilasi secara menyeluruh ke dalam masyarakat pribumi.
Hubungan erat dengan orang-orang Eropa atau Belanda sangat mempengaruhi budaya masyarakat Peranakan. Akibatnya, kaum Cina Peranakan kelas atas mengadopsi penuh terhadap budaya Eropa. Mereka rela memotong kuncirnya, memakai pakaian ala Eropa, dan memakai nama depan Eropa demi mendapatkan simpati dari orang-orang Eropa di Jawa. Bahkan mereka dalam kesehariannya menggunakan bahasa Belanda. Pada abad ke-20, ketika kemungkinan untuk menjadi warga negara Belanda, orang Cina Peranakan banyak yang berusaha untuk menjadi warga negara Belanda dan kemudian memperoleh status sebagai orang Eropa.
Cina Totok
Ada dua pendapat mengenai pemahaman dari orang Cina Totok. Pendapat pertama, sebagian ahli sejarah menjelaskan bahwa Cina Totok merupakan orang Cina yang terlahir di negeri Cina, lalu merantau ke Nusantara. Mereka orang-orang Cina yang terlahir di Indonesia digolongkan dalam Cina Peranakan. Pendapat kedua, ada yang menjelaskan bahwa Cina Totok adalah orang Cina yang lahir di Indonesia dan berbahasa Cina. Orang-orang Cina yang terlahir di negeri Cina dan datang ke Indonesia disebut Singkeh atau tamu baru. Sedangkan orang-orang Cina yang tinggal di Indonesia dan berbahasa setempat, tergolong dalam Cina Peranakan.
Kedua pendapat ini memang sedikit membingungkan jika tidak diperhatikan secara langsung perbedaan status mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal berpakaian, Cina Totok masih menggunakan pakaian adat orang-orang Tionghoa di negeri Cina. Seperti wanitanya yang menggunakan baju kurung dengan lengan panjang dan longgar di bagian ujungnya. Sedangkan untuk prianya, memiliki gaya potongan rambut kuncir dikepang ke belakang, menyerupai ekor babi. Mereka tetap menggunakan bahasa Cina dalam keseharian, terutama dengan keluarga besarnya. Mereka juga kurang lihai dalam bergaul dengan orang-orang pribumi maupun orang-orang Eropa. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka lebih sering dan akrab bergaul dengan sesama Cina Totok. Sehingga hubungan interaksi dengan masyarakat pribumi dan Eropa hanya terbatas dalam ruang lingkup bisnis dan perdagangan saja.
Jauh dan jarangnya interaksi Cina Totok dengan orang-orang Eropa/Belanda menyebabkan bisnis mereka kurang lancar. Beda dengan Cina Peranakan yang memang terkesan ‘western’ dalam gaya hidupnya, mereka cukup mendominasi di dalam sektor perekonomian kota Surabaya. Hal ini dikarenakan mereka sering berinteraksi dan berbisnis dengan orang-orang Eropa. Dan orang-orang Eropa sendiri merasa nyaman berbisnis dengan mereka. Namun, kondisi demikian akan berbalik ketika Belanda mengalami krisis di awal tahun 1940 an yang berbuntut dengan menyerahnya terhadap Jepang. Disini kaum Cina Totok mulai mendominasi sektor perekonomian di Surabaya, karena mereka mulai melakukan transaksi bisnis dengan orang Jepang dan pribumi, serta hubungan kolegial yang semakin baik dan terjaga.


Masa Pendudukan Jepang
1.Proses Masuknya Jepang ke Hindia Belanda
            Pada saat Jerman telah berhasil menduduki negeri Belanda pada saat perang dunia ke dua, maka Jepang sebagai salah satu sekutu dari Jerman merasa percaya diri untuk mengajukan nota kepada pemerintah colonial Hindia Belanda. Pada awalnya hanya diajukan 4 poin dari nota yang bersifat memaksa pemerintah colonial Hindia Belanda untuk memenuhi tuntutan kepentingan Jepang[6]. Pada tahun 1940, sikap Jepang semakin lebih agresif lagi, mereka meminta kepada pemerintah colonial Hindia Belanda untuk menjamin suplai bahan mentah yang sangat penting bagi kebutuhan industry serta militer Jepang, seperti Minyak tanah, Bauksit, Karet dan Bahan-bahan sejenisnya. Jepang juga mengirimkan delegasinya, untuk berunding dengan pemerintah colonial Belanda menyangkut pemenuhan terhadap permintaan Jepang, sehingga penguasaan secara militer dapat dihindarkan, namun hal ini gagal. Selain itu Jepang juga mulai melakukan program doktrinnya, “ Kemakmuran Bersama Asia Raya!” dengan semboyan yang terkenal yaitu gerakan 3A. Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang Cahaya Asia.
            Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sebenarnya mengetahui cepat atau lambat, bahwa Jepang pasti akan mengincar Indonesia untuk dikuasai, karena Indonesia memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Hanya saja pemerintah colonial Hindia Belanda tidak memiliki usaha yang cukup matang untuk mengantisipasi invasi Jepang terhadap wilayah Hindia Belanda. Hal ini diperparah dengan sikap pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang sangat kaku, terutama dalam membangun kekuatan komunikasi dan konsolidasi dengan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia. Sehingga walaupun pemerintah colonial Hindia Belanda mengumumkan keadaan darurat perang kepada seluruh warga pribumi, dan diharuskan untuk memerangi Jepang. Namun usaha tersebut sia-sia, karena gerakan propaganda yang dilakukan oleh tentara Jepang mampu menarik perhatian masyarakat luas, termasuk tokoh-tokoh pergerakan Indonesia.
            Sehingga pada saat tentara Jepang mulai memasuki wilayah Hindia Belanda, hamper sebagaian besar menyambut kedatangan mereka, sebagai tentara pembebasan, yang telah membebaskan mereka dari tangan penjajah dan akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia.
2.Represifitas Pemerintah Jepang Terhadap Etnis Tionghoa
            Pada saat Jepang berkuasa di Indonesia, mereka memberikan perlakuan yang khusus kepada etnis Tionghoa, dengan menjalankan “Politik Tionghoa untuk Tionghoa”[7]. Dalam pelaksanaannya pemerintah militer Jepang melakukan pengawasan yang sangat ketat terhadap gerak-gerik etnis Tionghoa. Untuk itulah mereka diwajibkan untuk mendaftarkan diri. Bagi mereka yang telah mendaftarkan diri kemudian diberikan semacam “kartu kuning” yaitu semacam kartu yang terbuat dari karton bewarna kuning.
            Selama pendudukan Jepang, timbul beberapa persoalan dikalangan etnis Tionghoa, baik peranakan maupun totok. Dalam hal ini apahkah mereka akan mengadakan perlawanan, atauhkah mereka akan mengakui kekuasaan tentara pendudukan Jepang. Memang dikalangan Tionghoa juga terdapat sentiment anti Jepang,  untuk mengatasi meluasnya sentiment anti Jepang maka pemerintah pendudukan Jepang juga menyusupi mata-mata dikalangan etnis Tionghoa. Selain itu tentara pendudukan Jepang juga mengadakan pemberedelan terhadap majalah-majalah yang dianggap membahayakan stabilitas tentara pendudukan Jepang. Penangkapan juga dilakukan kepada semua tokoh pergerakan Tjin Tjay Hwee dan semua wartawan Tionghoa, baik totok maupun peranakan. Penangkapan-penangkapan tersebut dilakukan serentak di seluruh pulau Jawa. Mereka yang tertangkap kemudian dikumpulkan menjadi satu dengan orang-orang Belanda juga dalam kamp tawanan perang di Cimahi, Jawa Barat.
Pendirian PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) bagi rakyat Pribumi merupakan salah satu usaha dari pihak Jepang untuk mengkonsolidasi masa dan mengerahkan mereka pada saat dibutuhkan. Untuk etnis Tionghoa juga didirikan ‘Kakyo Shokai’ (科挙 初回). Orang Tionghoa yang berpendidikan Belanda pada masa ini juga mengalami tekanan yang sangat kuat. Golongan Tionghoa yang dulunya terpecah belah menjadi dua golongan, yaitu golongan yang telah menerima pendidikan Belanda dan golongan yang belum, pada masa ini dipaksa untuk bersatu[8].
            Penggunaan segala sesuatu yang berbau Belanda dilarang, termasuk penggunaan bahasa, nama, sampai papan nama kios atau tokopun harus diubah kedalam bahasa Mandarin. Hal ini menyebabkan perstise Cina totok lebih meningkat, karena hampir semua Cina peranakan tidak mengetahui bahasa dan tulisan leluhurnya. Sedangkan anak-anak Cina yang memiliki darah campuran antara Cina dan Eropa cenderung mendapatkan perlakuan yang lebih lunak. Sementara kegiatan Eropanisasi terhenti untuk sementara terhenti, bagi masyarakat Tionghoa yang telah mendapatkan status sebagai warga Eropa akan mengalami perlakuan yang sangat ketat dari pemerintah pendudukan Jepang, seperti penyitaan secara sepihak, bahkan terdapat kekerasan fisik yang dilakukan oleh tentara pendudukan Jepang, apabila mereka ketahuan tidak menggunakan bahasa China, atau pada saat mereka ditanyai nama, mereka tidak dapat menjawabnya dengan bahasa Mandarin.
3.Kondisi Sosial Masyarakat Tionghoa
            Pada saat tentara Belanda melakukan taktik bumi hangus, pemerintah colonial Hindia Belanda juga mengeluarkan perintah untuk membumihanguskan seluruh instalasi perindustrian, atau segala sesuatu yang dapat dipergunakan oleh Jepang untuk keperluan perangnya maka akan dibumu hanguskan oleh tentara Belanda.
            Pada saat terjadinya kekacauan tersebut, banyak etnis Tionghoa yang melakukan pengungsian kekawasan pedalaman dengan membawa perlengkapan kebutuhan hidup seadanya. Sementara harta benda dan kekayaan mereka tinggalkan di kota. Pada saat itu banyak terjadi perampokan dan penjarahan terhadap Etnis Tionghoa baik totok dan peranakan. Salah satu hal yang menarik ialah, penjarahan tersebut ternyata juga dilakukan oleh tentara Belanda. Tentara Belanda pada saat itu mengambil seluruh barang-barang logistic dan membawanya, kemudian mereka meninggalkan took-toko tersebut dalam keadaan terbuka. Hal tersebut juga memprovokasi masyarakat untuk melakukan penjarahan juga. Sentimen anti Cina juga terlihat pada saat penjarahan ini.[9]
            Penjarahan yang dilakukan oleh tentara Belanda dan Pribumi membuat posisi perekonomian etnis Tionghoa semakin terjepit. Mereka mengalami banyak kerugian material. Setelah pemerintah pendudukan Jepang berkuasa, mereka memberikan jaminan keamanan bagi etnis Tionghoa baik Totok maupun Peranakan. Walaupun telah mendapat jaminan keamanan, namun mereka masih harus wajib menyetorkan sumbangan berupa barang beharga lainnya, untuk kepentingan perang Asia Timur Raya yang dikobarkan Jepang.
            Nasib yang lebih buruk menimpa etnis Tionghoa yang memiliki warga Negara Belanda. Dalam hal ini harta benda mereka yang berharga langsung disita oleh tentara pendudukan militer Jepang, serta mereka ditangkap dan diasingkan dalam kamp tawanan perang bersama dengan orang-orang Belanda lainnya.
            Pada masa pendudukan Jepang perdaganggan mengalami penurunan yang sangat drastic, hal ini disebabkan akibat rusaknya bangunan produksi pabrik-pabrik, serta tidak adanya  jaminan keamanan menyebabkan distribusi barang sangat sulit. Namun bagi pedagang Tionghoa yang pro dengan pemerintah pendudukan militer Jepang, serta memiliki modal yang kuat. Maka mereka masih tetap diizinkan untuk mengadakan aktivitas perdagagngan mereka, walaupun pada umumnya aktivitas tersebut diarahkan untuk memenuhi kebutuhan tentara Jepang, dan mereka dilarang mengambil keuntungan dari perdagangan itu. Akibatnya timbullah pasar gelap pada masa pendudukan Jepang.

Kesimpulan
            Ketika pasukan Jepang tiba di Jawa, khususnya di Surabaya pada 1942, warga Tionghoa Totok dan Peranakan memiliki perbedaan perlawanan atas kedatangan tentara Jepang tersebut. Cina Totok ingin menunjukkan solidaritas dan patriotismenya terhadap penderitaan saudaranya di Tiongkok. Hal ini dilatarbelakangi oleh peristiwa penyerbuan tentara Jepang ke Tiongkok pada 1931. Aksi perlawanan mereka tetap berlanjut ketika Jepang benar-benar menduduki Surabaya. Mereka tetap tidak mau bekerjasama dengan Jepang. Sedangkan Cina Peranakan berpendapat bahwa lebih mudah membantu melawan gerakan fasisme Jepang di tanah Jawa, daripada mengirim bantuan ke Tiongkok. Cina Peranakan juga tidak mengingkari adanya usaha untuk bekerjasama dengan Jepang jika memang terpaksa, dan itu dilakukan untuk mendapatkan keselamatan diri.[10]
Perbedaan pandangan antara Cina Totok dan Cina Peranakan juga terjadi ketika pada masa kolonial Belanda. Ketika itu, warga Peranakan kondisi ekonominya lebih makmur daripada warga Totok. Hal ini dikarenakan warga Peranakan memiliki hubungan yang sangat baik dengan orang-orang Eropa/Belanda. Sehingga bisnis dan aktivitas perekonomian warga Peranakan menjadi lebih lancar. Berbeda dengan warga Totok, mereka lebih tertutup dengan orang luar, yang membawa dampak pada kelancaran ekonomi perdagangan mereka. Sehingga pada masa kolonial, warga Totok hanya memiliki usaha tingkat menengah ke bawah. Kondisi ini akhirnya menimbulkan dampak yang tidak baik diantara keduanya. Mereka sering berselisih tentang norma-norma budaya Cina, masalah pajak, dan masalah prinsip.
Jika ditinjau dari kasus yang dialami warga Cina Totok dan Cina Peranakan dari masa ke masa, ternyata mereka juga tidak jauh berbeda dengan warga Indonesia. Warga Tionghoa juga sangat plural, meskipun mereka lahir dalam satu ras, Mongoloid. Mereka memiliki ikatan emosional yang berbeda mengenai budaya dan tradisi nenek moyangnya. Mereka juga berbeda pandangan mengenai gaya hidup dan pengaruh westernisasi. Pergantian penguasa (dari Belanda, Jepang, hingga Indonesia merdeka) juga mendapat respons yang berbeda pula dari warga Tionghoa di Indonesia, khususnya Surabaya. Menurut mereka, masing-masing penguasa membawa keuntungan dan kerugian dalam menerapkan kebijakan-kebijakannya yang berhubungan dengan eksistensi warga Tionghoa, khususnya di Surabaya.
            Pada masa Jepang etnis Tionghoa juga dieksploitasi untuk kepentingan Jepang, sehingga dapat diketahui bahwa selama dua masa, yaitu pada masa colonial dan pendudukan Jepang. Keberadaan etnis Tionghoa tetap dibutuhkan, khususnya mengenai peran serta fungsi ekonomi yang sangat penting bagi siapapun yang berkuasa di Hindia Belanda, namun hal yang sangat disayangkan ialah, kurangnya historiografi mengenai aktivitas mereka yang cukup berpengaruh dalam perjalanan sejarah bangsa ini.





 Ucapan Terima Kasih
Bu Shinta, Pak Wie. Wisnu Wardhana, Arief Wicaksono, dan 2 orang temen Mahasiswi China Zhang cong (Mariana) dan Shao Jain Li (Safira) yang udah mw panas2an mengikuti kami mencari data di berapa kelenteng dan kawasan pecinaan di Surabaya. hehehehe >.<


Daftar Pustaka
.
Djin, Siauw Tiong. Siauw Giok Tjhan: Perjuangan Seorang Patriot Membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika. Jakarta: Hasta Mitra. 1999.
Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Tiara Wacana. 2003.
                        . Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta : Bentang. 1995.
                        . Penjelasan Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2008.
Noordjanah, Andjarwati. Komunitas Tionghoa di Surabaya 1900 – 1946. Semarang: Mesiass. 2004.
Onghokham. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Tionghoa. Jakarta: Komunitas Bambu. 2008.
                        .  Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu. 2008.
Post, Peter etc. Japan Indonesia and The War. Leiden : KITLV Press. 1997.
Sakamoto, Taro.. Jepang Dulu dan Sekarang. Terj Sylvia Tiwon. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982.
Tjhan, Siauw Giok. Lima Jaman: Perwujudan Integrasi Wajar. Jakarata: Yayasan Teratai. 1981
Yang, Twang Peck. Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940 – 1945. Yogyakarta: Niagara. 2004.
Skripsi
Azis, Yusniardi Setiawan. Orang-orang Tionghoa di Malang. Jakarta: Skripsi Tidak diterbitkan, 2007.
Majalah
Sinpo,  24 Januari 1942
            , 28 Februari 1942



[1] Peter Post dan Elly Touwen, Japan Indonesia and The War. (Leiden: KITLV Press, 1997),hlm 14.
[2] Sifat kstaria yang menyangkut mengenai kedisiplinan, keberanian, dan pengabdian. Lihat, Inazo, Nitobe. Bushido: The Soul of Japan. Terj. Antonius
[3]Siauw Giok Tjhan. Lima Jaman: Perwujudan Integrasi Wajar. (Jakarata: Yayasan Teratai.1981),hlm.67.

[4] Onghokham, Anti Cina, Kapitalisme Cina, dan Gerakan Cina, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 66.
[5] Ibid, hlm. 66.
[6] Lihat, Siauw Giok Tjhan.Op.cit.hlm.67 – 68.
[7] Ibid.hlm.70.
[8] Ibid.hlm.71.
[9] Lihat, Twang Peck Yang. Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940 – 1945.(Jakarta:Niagara. 2005).hlm.87-88.
[10][10] Andjarwati Noordjanah, Komunitas Tionghoa di Surabaya 1900-1946, (Semarang: Mesiass, 2004), hlm. 84.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar