Kamis, 28 Oktober 2010

Review Beberapa Buku Maritim Menarik


Review Beberapa Buku Maritim Menarik

Pendahuluan

            Indonesia yang dikenal sebagai negara kepulauan terbesar didunia tentu saja memiliki wilayah laut yang sangat luas, serta garis pantai yang sangat panjang. Adanya kekhasan spasial atau kondisi geografis  yang dimiliki oleh Indonesia, juga memberikan warna tersendiri bagi corak budaya, serta kondisi sosial masyarakat pesisir disetiap daerah atau pulau yang terdapat di Indonesia.
            Kondisi geografis Indonesia yang memang sebagian besar terdiri dari laut, memungkinkan berkembangnya tradisi bahari atau maritim. Tradisi bahari atau maritime tersebut biasanya berkaitan erat dengan pola perdagangan dan pelayaran. Dapat dilihat bahwa hasil dari tradisi tersebut tertuang dalam bentuk materi, seperti pola dan bentuk teknologi perahu yang unik.
            Posisi geografis Indonesia yang berada pada persilangan jalur penting perhubungan dunia, telah memberikankedudukan dan peranan startegis pada Indonesia, baik dalam percaturan hubungan antar bangsa dan merupakan salah satu sumber kemajuan bangsa.
            Dengan wilayah laut yang sangat luas tentu saja memerlukan suatu pengamanan yang sangat intensif, hanya saja fnomena yang terjadi beberapa waktu yang lalu mengindikasikan bahwa peranan angkatan laut Indonesia belum maksimal. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih banyaknya kerugian yang dialami oleh negara, akibat pencurian ikan secara illegal oleh negara lain. Selain itu maraknya kasus infiltarsi terhadap batas laut wilayah Indonesia oleh negara lain juga merupakan salah satu ancaman yang serius terhadap matra geopolitik dan geostartegis Indonesia, sehingga dapat disimpulkan bahwa armada militer Indonesia masih mengalami kekurangan dan harus segera ditingkatkan.
            Beberapa paparan diatas menyebutkan bahwa laut memiliki peranan penting terhadap pembentukan suatu sikap atau perilaku, terhadap masyarakat yang berada disekitar laut tersebut. Sehingga terdapat sebuah peristiwa yang penting dan unik yang mempunyai relevansi dengan laut. Peristiwa tersebut dapat disebut dengan sejarah maritime.

1. Makassar Sebagai Kota Maritim
Dalam buku yang berjudul ”Makassar Sebagai Kota Maritim” ini berisi tentang bagaimana kondisi kota Makassar itu sendiri. Fokusnya adalah menjelaskan bagaimana kedudukan Makassar sebagai kota maritim. Dengan fokus tersebut maka yang menjadi perhatian utama dari penulis adalah kegiatan ekonomi masyarakat yang melalui pelayaran dan perniagaan, serta bagaimana interaksi sosial dengan bangsa-bangsa lain.
Dengan predikatnya sebagai kota maritim, sehingga memungkinkan Makassar untuk menjalin hubungan dengan bangsa lain. Hubungan Makassar dengan negara maupun kota-kota lain tidak sekadar pada hubungan dagang. Namun, dalam perkembangannya hubungan tersebut menyangkut penyebaran agama, perkembangan politik, militer, pemukiman, lingkungan fisik, dan sosial  budaya yang tak mungkin terlupakan.
Dalam kaitannya dengan perniagaan, tentunya ada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Misalnya, kedatangan orang-orang bangsa Eropa ke nusantara untuk berniaga, sehingga ditemukannya jalan menuju pulau rempah-rempah. Hal tersebut didukung dengan kerajaan Makassar yang telah mulai berkembang  dan memiliki armada niaga. Dalam hal perniagaan tidak hanya orang Eropa saja yang datang ke Makassar, tetapi ada juga pedagang-pedagang Melayu. Kedatangan orang Melayu di Makassar punya peran penting tidak hanya dalam perdagangan tetapi juga dalam penyebaran agama Islam dan dalam birokrasi.Bahkan dalam struktur kerajaan Gowa (Makassar) banyak orang Melayu memegang peranan penting di istana.
Dengan adanya hubungan dagang penduduk Makassar dengan daerah lain, memungkinkan terjadinya hubungan lain, misalnya dalam hal persebaran agama. Orang Portugis diterima oleh orang Makassar, sehingga orang-orang Portugis tidak hanya memanfaatkan peluang tersebut untuk berdagangan, tetapi juga untuk menyebarkan agama nasrani. Begitu pula dengan pedagang Melayu yang turut serta menyebarkan agama Islam. Kedatangan orang-orang Melayu di Makassar terutama yang berasal dari Pattani disebabkan oleh kehancuran hagemoni kesultanan Malaka, pada saat kota Malaka berhasil ditaklukkan oleh Portugis pada tahun 1511. Secara tidak langsung kedatangan orang-orang Melayu di Makassar membawa akibat bagi orang-orang Makassar itu sendiri, seperti adanya suatu proses asimilasi kebudayaan yang dilakukan melalui perkawinan campuran.
Kemasyuran kota Makassar tidak lepas dari politik kerajaan Gowa  yang menempatkan Makassar sebagai pusat perdagangan. Kehadiran Makassar sebagai kota niaga  diikuti pula oleh  penyusunan sistem administrasi  dan birokrasi negara maritim. Pada saat itu mulai ditempatkan Syahbandar untuk membantu raja menangani pemerintahan kerajaan Gowa. Kekuatan militer juga dibangun dan dilengkapi, karena faktor keamanan bandar merupaka unsur vital dalam pengembangan.
Hal lain yang berkembang sejalan dengan Makassar sebagai kota maritim adalah teknologi, seperti transportasi dilaut dan alat penangkapan ikan tumbuh dan berkembang. Hukum pelayaran dan perdagangan  diciptakan, administrasi pelabuhan disempurnakan.
Penyebab meningkatnya aktivitas pelayaran dan perniagaan di Makassar tidak terlepas dari tehnik pengembangan dan pembuatan perahu, yaitu munculnya Perahu Pinisi, yang mampu mengarungi lautan dengan daya jelajah yang luas. Perkambangan teknologi perkapalan juga diduakung dengan adanya kodifikasi hukum-hukum Pelayaran dan Perniagaan yang disebut Amanna Gappa, hukum tersebut dikodifikasikan oleh Amanna Gappa seorang suku bugis yang hidup di daerah Wajo. Hukum Amma Gappa tersebut mengatur proses transaksi perdagangan, mulai penggunaan modal usaha, kontrak bagi hasil laba, utang piutang dan sebagainya.
Dengan adanya hukum Amanna Gappa yang menghubungkan antara pemilik modal dan orang yang menjalankan modal tersebut maka jelas terlihat adaya system perniagaan partnership atau system Commenda. Dari system ini diketahui bahwa terdapat keterlibatan raja, kaum bangsawan dan orang kaya yang ikut sebagai penanam modal pada masa itu. Sedangkan orang yang menjalankannya diserahkan oleh para pedagang dengan mengatasnamakan pemilik modal tersebut. Komoditi yang diperdagangkan dalam perniagaan ini hampir sama dengan daerah lainnya di Indonesia pada masa itu, yaitu Beras, rempah-rempah, kayu cendana, kain, ada beberapa teori yang mengatakan bahwa terdapat juga perdagangan budak di Makassar.
Proses runtuhnya Makassar sebagai Bandar niaga tidak lepas dari kekalahan kerajaan Gowa terhadap VOC pada Perang Makassar (1666 – 1669). Akibatnya  kemajuan yang telah dicapai kota Makassar mulai merosot. Butir-butir Perjanjian Bongaya yang menghancurkan peranan Bandar Makassar tersebut, antara lain : Semua benteng pertahanan yang dibangun untuk melindungi kota (termasuk para pedagang), harus dihancurkan, kecuali Benteng Somba Opu dan Benteng Ujungpandang (yang kemudian dikenal dengan sebutan Fort Rotterdam) yang dipinjamkan untuk pemukiman dan kantor dagang VOC. Sedang Benteng Sompa Opu tetap menjadi pusat pemerintahan kerajaan. Dalam perjanjian Bongaya juga menegaskan, semua pedagang asing yang bermukim di Makassar harus diusir keluar, dan hanya VOC yang boleh melakukan perdagangan di Makassar dan bebas dari segala bentuk pajak perdagangan. Dengan adanya perjanjian tersebut maka mulai merosotnya kegiatan perniagaan bebas yang terdiri dari pedagang-pedagang dari bermacam-macam negara. Hal ini mengakibatkan merosotnya perekonomian kerajaan. Sehingga lambat laun runtuhlah hagemoni Makassar sebagai kota perniagaan.

2. Budaya Bahari
            Buku pertama yang akan dibahas ialah buku budaya bahari karangan dari Djoko Pramono ini memaparkan tentang kebudayaan bahari yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Hanya saja cakupan pembahasan dalam buku ini menurut saya sangat luas.
            Dalam buku ini dibahas mengenai wawsan nusantara, dalam hal ini buku ini menggambarkan mengenai aspek geografis Indonesia yang memiliki posisi yang sangat strategis. Dengan kata lain, dari aspek geografis tersebut kemudian penulis buku ini merangkum beberapa topic secara tematis, mengenai beberapa hal yang terjadi di Indonesia yang berhubungan dengan kegiatan bahari.
            Sehingga dalam buku ini tersusun secara tematis dan general, dalam artian buku ini memaparkan mengenai peristiwa-peristiwa penting berupa peperangan yang terjadi pada masa abad ke 16 hingga 18 yang terjadi di perairan Indonesia. Dalam segi ekonomi dibuku tersebut juga dicatat bagaimana perkembangan perdagangan dan perniagaan pada masa abad ke 16. Ketika itu Indonesia yang merupakan sumber komoditi utama perdagangan pada masa itu, yaitu rempah-rempah. Dalam hal ini disebutkan bahwa karena komoditi itulah akhirnya Indonesia menjadi salah satu tujuan dari pelayaran bangsa-bangsa Eropa. Berbagai akibat yang timbul akibat kedatanagn bangsa-bangsa ropa tersebut, yaitu adanya praktek kolonialisasi yang kemudian dilanjutkan dengan melakukan praktek monopoli perdagangan.
            Selain itu dalam buku ini juga dibahas mengenai karifan local yang dimiliki oleh Indonesia, sebagai negara kepulauan terluas didunia. Di dalam buku ini dibahas bagaimana setiapa daerah yang ada di Indonesia memiliki budaya sendiri-sendiri yang bersifat unik. Sehingga terdapat suatu heritage (Kebudayaan) yang beranekaragam.
            Pada bagian terakhir dari buku ini juga dibahas mengenai kondisi kontemporer yang terjadi dalam dunia maritime Indonesia. Yaitu adanya ancaman yang mampu menggusur kearifan local di bidang bahari. Ancaman tersebut berasal dari dalam maupun luar. Di sisi lain Indonesia memiliki banyak kekurangan dalam bidang militer, sehingga kurang bisa mengkover kedaulatan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kasus pulau Sipadan dan Ligitan yang jatuh ketangan Malaysia.

3. Orang Mandar Orang Laut
            Dalam buku  yang ditulis oleh Muhammad Ridwan ini, dapat diambil beberapa makna penting. Buku ini menrupakan salah satu catatan etnografi yang dilakukan oleh beliau, dengan objek penelitian ialah suku mandar, dan kebudayaan maritime mereka. Didalam buku ini dapat ditemukan sapek kebudayaan maritime dari suku Mandar itu sendiri, mulai dengan kegiatan sebelum berlayar, upacara-upacara perpisahan, ritual sewaktu melepas perahu karena berpamitan dengan daratan, atau dalam istilah Mandar disebut dengan saatnya Sande dipertemukan dengan ibu-bapaknya: Ilmu pengetahuan yang diperlukan seorang pelaut; ketrampilan untuk melawan badai; cara-cara menangkap ikan, sampai soal pembagaian hasil dikalangan awak kapal.
            Dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana cara-cara pembuatan teknologi peralatan yang biasanya digunakan untuk pergi menangkap ikan bagi nelayan-nelayan dari Suku Mandar.  Pada masa pergolakan di Sulawesi Selatan banyak orang dari suku Mandar mengungsi ke luar dari kampong halamannya, yaitu di pulau Jawa dan Bali. Dalam buku ini juga diperkenalkan istilah pappalele yaitu pedagang perantara yang memasarkan hasil tangkapan yang mereka dapatkan.
            Catatan perjalanan ini juga merekam kehidupan bahari pelaut Mandar pada awal millennium ketiga ini, yang pada saat ini megalami perubahan yang sangat cepat akibat terjadinya kemajuan iptek yang diikuti dengan perubahan sosial dan budaya. Dalam bab penutup dikemukakan bahwa fungsi sande telah berubah yang disebabkan oleh berkurangnya ketersediaan bahan pembutanya, yaitu kayu yang sudah mulai langka, dan peminat yang memesannya mulai berkurang. Penulis dalam buku ini juga brsikap skeptic terhadap keterbelangsungan sandei, apahkah sande mampu menarik minat generasi muda Mandar untuk memegang teguh kebudayaan tradisional mereka.  
            Dalam buku ini juga dikritisi bagaimana tardisi motangnya, yaitu kebiasaan menghanyut dan memburu telur ikan terbang. Walaupun harga hasil tangkapannya smakin tidak sebanding dengan biaya dan jerih-payah yang dilakukan oleh sawi (anak buah kapal) untuk mendapatkannya. Belum lagi juga populasi ikan terbang yang semakin berkurang, sekali lagi penulis buku ini skeptic terhadap tardisi tersebut. Apahkah tradisi penagkapan telur ikan terbang ini masih dapat ditruskan apahkah harus dihentikan.
            Untuk menjaga kelestarian tardisi tersebut, maka salah satu cara yang harus dilakukan ialah melakukan penjagaan ekosistem. Dengan cara melakukan kembali revitalisasi terhadap ekosistem, seperti menanam pohon bakau dan budidiya telur ikan terbang.
             Dalam buku ini juga disinggung mengenai tantangan bagi suku Mandar di masa yang akan mendatang. Menurut Aturang Parroppongong, laut adalah milik umum. Oleh karena itu, semua pihak berhak menempatkan Roppong di laut. Tetapi dalam perkembangannya hubungan  antar-suku bangsa dan antar bangsa, makan istilah umum meluas. Apabila laut dianggap milik umum, maka kelompok lainpun berhak untuk memanfaatkan potnsi laut sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Sehingga bisa saja terjadi bentrokkan dengan kepentingan nelayan Roppong. Konflik kepentingan pernah terjadi dengan pihak pengusaha pertambangan lepas pantai, namun konflik tersebut berhasil diselesaikan dengan pemberian ganti rugi terhadap nelayan Roppong. Namun tradisi menempatkan Roppong dilaut dengan menghormati hak ulayat setempat, namun tentu saja penempatan trsbut tidak boleh membahayakan alur lalu lintas lauat yang semakin ramai.     
            Pertentangan mengenai azas laut bebas atau laut tertutup, yang mewarnai hubungan intenasional di masa lampau, saat ini telah mulai ditinggalkan sejak dunia maritime internasional menerima azas baru yaitu , bahwa laut adalah warisan umat manusia bersama (the human common heritage of mankind). Yang dititipkan oleh nenek moyang kta semua untuk ditipkan dan dipelihara. Gagasan tersebut pertama kali dilontarkan oleh Arvid Pardo pada tahun  1976 di hadapan Majelis umum PBB.  Selain itu ia juga mngingatkan perihal the ecological unity of ocean space (kesatuan ekologi ruang samudra), yaitu penggunaan ataupun penyalahgunaan sebagaian laut akan berdampak paa seluruh wilayah bahari.
            Buku ini menggambarkan betapa pandai masyarakat suku Mandar beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang dialami pada masa lalu dan masa sekarang. Dalam hal ini penulis berharap bahwa suku Mandar dapat bertahan dari arus Globalisasi yang dapat mengikis kebudyaan mereka.

4. Sun Tzu seni Perang Modern di Mandala Lautan
            Buku yang  ditulis oleh colonel laut Gatot soedarto menggambarkan tentang seni perang modern di mandala lautan dengan menggunakan pendekatan ajaran seni berperang tokoh legendaries Sun Tzu, seorang panglima perang dan ahli strategi Cina yang hidup sekitar tahun 505 SM.
            Analisis dan telaah ajaran Sun Tzu dalam buku ini memiliki konteks langsung dengan peristiwa historis dengan terjadinya peperangan dilautan abad ke 20.  Yaitu perang pasifik (1941-1945) dan prang Falklands (1982). Dalam perang pasifik, terbukti seni perang sun Tzu berlaga di perang mandala lautan Pasifik, sementara di tahun 80an masih berjaya sebagai strategi kampanye maritime Inggris yang terbesar sejak perang dunia ke II. Kedua perang tersebut memiliki prinsip, asas maupun tata laku peperangan yang diajarkan oleh Sun Tzu yang ada di mandala lautan. Prinsip dan ajaran yang memilki kaitan dan signifikansi langsung dengan kebutuhan kelautan di Indonesia adalah bagaimana membangun manajemen kelautan dan kontekstual dengan kondisi kelautan di Indonesia, seperti strategi command of the sea ataupun praktik-paraktik deception. Belajar dari sejarah bangsa Indonesia, tampak bahwa startegi itu pernah digunakan oleh bangsa asing dalam menguasai nusantara, walaupun kita terkenal moyang pelaut.
            Perang pasifik, yang dibuka dengan serangan Jepang terhadap pangkalan Amerika serikat di Pearl Harbor, tepat dihari minggu tanggal 7 Desember 1941, dan diakhiri empat tahun kemudian juga pada hari minggu tanggal 2 September 1945 dengan upacara resmi menyerahnya Jepang digeladak kapal perang Missouri, pada dasarnya merupakan suatu bentuk peperangan laut di zaman modern, dan merupakan “pameran” teknologi persenjataan kapal perang sekaligus pesawat udara. Istilah nama perang Pasifik itu sendiri menunjukkan mandala peperangan lautbluas dikawasan Pasifik.
            Dalam buku ini dipilih lima topic seni peperangan laut, dan digunakan sebagai judul dalam bab 2 hingga bab 6. Pertama yaitu mengenai serangan pendadakan, terbukti dalam perang pasifik dan Perang Falklands, bahwa serangan pendadakan merupakan metode perang yang paling banyak digunakan, dan hasilnya sangat menentukan keberhasilan peperangan. Kedua ialah memilih dan menentukan medan pertempuran, merupakan faktor penting yang tdiak bisa diabaikan. Selain memberikan pengaruh yang besar terhadap moral tempur pasukan, kecermatan dalam memilih dan menetukan medan pertempuran dapat memberikan banyak keuntungan, baik pada aspek taktis maupun strategis. Ketiga ialah hindari bagian yang kuat dan dan serang paa bagian yang lemah, merupakan landasan dari prinsip-prinsip perang. Keempat ialah maneuver dan kecepatan, merupakan salah satu sifat dasar dari kekuatan kapal perang laut, dan hal itu bertepatan dengan ajaran Sun Tzu.  Kelima dan terakhir ialah moral dan naluri tempur, tentang hal itu tidak diragukan lagi, karena pada akhirnya keberhasilan didalam perang sangat ditentukan oleh moral pasukan, disamping faktor keunggulan senjata.

5. Orang Bajo Suku Pengembara Laut.
            Dalam buku yang dikarang oleh seorang etnolog berkebangsaan Perancis mengenai suku bajo, salah satu suku pengembara Laut yang ada di Indonesia. Pada saat melakukan penelitian, penliti melakukan suatu metode penelitian sebagai apa yang disebut sebagai peneliti partisipan.
            Buku ini secara detail menggambarkan atau melukiskan kehidupan sehari-hari Orang Bajo, mulai dari ritual yang biasa mereka lakukan, upacara kelahiran bayi, bagaimana kepercayaan animism serta dinamisme mereka, yang masih mereka pertahankan.
            Bagian paling menarik dalam buku ini ialah opini peneliti terhadap masa depan orang-orang Bajo. Dalam hal ini peneliti mengungkapakan suatu realitas yang dihadapi oleh orang-orang bajo, yaitu hidup menetap. Realitas ini merupakan asas maa depan mereka. Suatu program pemerintah merencanakan pemindahan suku Bajo dan penempatan mereka di daratan, padahal mereka sudah hidup di atas air selama berabad-abad. Secara umum orang bajo sadar bahwa nasib dan daya hidup mereka bertumpu  pada cara hidup maritime mereka.
            Saat ini reaksi orang-orang Bajo berbeda, tergantung dari kondisi di setiap desa. Hidup menetap telah menggoyahkan kehidupan desa, sedemikian rupa sehingga sebuah perpecahan nyaris timbul diantara penduduk, dalam sebuah masyarakat  yang secara turun temurun.  Situasi baru yang tak dapat mereka hindari ialah, pada saat mereka dimintai pendapat oleh pemerintah  mengenai relokasi mereka ke darat. Pada saat berdialaog dengan pemerintah, peneliti menjelaskan dengan gambar-gambar sebagai bukti bahwa program hunian darat tidak masuk akal dari berbagai segi: manusia, ekonomi, materi. Peneliti menekankan bahwa masyarakat bajo termasuk warisan Sejarah dan kemanusiaan Indonesia. Akibatnya pemerintah mengurungkan niatnya untuk mrelokasi desa tersebut dan mendirikan jembatan penghubng antara desa tersebut dengan laut.
            Terakhir penulis juga memperingatkan akan bahay lain yang mengancam orang bajo. Seperti sejumlah suku tradisional lainnya. Bahwa suku-suku tardiusional tersebut dijadikan sebagai bahan totonan atau dieksploitasi secara massif. Hal ini tentu saja dapat merusak adat istiadat mereka. Oleh karena itu dibuku tersebut peneliti tidak memberikan lokasi detail dari lokasi yang ditelitinya. Pesan yang tersirat dalam buku tersebut juga ialah bawa orang Bajo merupakan suku pengembara laut dan itu merupakan suatu takdir bagi mereka. Dan kita ahrus mengupayakan agar kebudayaan tradisional mereka tidak hilang. Karena kearifan budaya mereka merupakan salah satu kekayaan intelektual dari bangsa yang bernama Indonesia ini.

Kesimpulan
            Dari pemamparan beberapa buku diatas dapat dittarik sebuah kesimpulan, bahwa laut memiliki suatu peranan  penting terhadap aspek kehidupan manusia. Dari lautlah manusia belajar, dan tradisi belajar tersebut disebut tardisi bahari. Laut juga membetuk karakteristik suatu suku atau bangsa, sehingga bangsa tersebut memiliki suatu kebudayaan maritime yang sangat kuat.
            Dari beberapa buku tersebut saya melihat ada beberapa keraguan dari penulis buku tersebut, tentang ancaman terhadap kelestarian kebudayaan tardisional bahari mereka. Hal ini disebabkan oleh beberapa sebab. Akan tetapi sebab yang paling utama ialah adanya arus globalisasi yang sangat besar, sehingga ruang mereka dipersempit, dan tidak ada cara lain untuk menyesuakikan diri, selain mengubah cara hidup mereka.
            Dalam kesimpulan ini saya ingin menekankan bahwa ternyata di perairan laut Indonesia sangat kaya akan potensi, baik itu potensi alam dan mampu menelurkan beberapa kearifan local. Pada konteks sejarahpun tercatat beberapa peristiwa penting yang terjadi di laut, seperti perang Pasifik yang sampai masuk ke wilayah perairan Indonesia. Sedangkan dibidang kekayaan intelektual direperesentasikan dengan banyaknya teknologi tradisional, serta budaya bahari beberapa suku yang ada di Indonesia dalam mengarungi laut.    



Daftar Pustaka
Alimuddin, Muhammad R. Orang Mandar Orang Laut: Kebudayaan Bahari Mandar Mengarungi Gelombang Perubahan Zaman. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). 2005.
Lapian, Adrian B. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara abad ke-16 dan 17. Jakarta : Komunitas Bambu. 2008. 
Pramono, Djoko. Budaya Bahari. Jakarta: Gramedia Pustaka. 2004.
Rasjid, Abdul, Restu Gunawan. Makassar Sebagai Kota Maritim. Jakarta: CV.Putra Prima, 2000.
Soedarto, Gatot. Sun Tzu Seni Perang Modern di Mandala Lautan. Jakarta: Aksara Karunia. 2003.
Zacot, Francois R. Orang Bajo: Suku Pengembara Laut.  Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). 2002.
   


2 komentar: