Perdagangan
Dunia dan Perkembangan Kota di Hindia Belanda: Analisis Terhadap Perkembangan
Kota Semarang dan Balikpapan
Membahas mengenai morfologi kota-kota di nusantara
pada masa kolonial merupakan salah satu kajian yang sangat menarik, terlebih
dengan adanya sebuah determinan ekonomi yang sangat berpengaruh bagi
terbentuknya dan berkembangnya kota-kota kolonial. Menurut saya akan sangat
penting apabila kita mengetahui tahapan fase-fase perkembangan kota colonial.
Mengutip apa yang dikatakan oleh Peter J.M.Nas yang mengatakan bahwa
perkembangan kota-kota di Indonesia terjadi dalam empat fase, yaitu[1]:
1.
Permulaan Kota Tradisional di Indonesia, perkembangan kota pada masa ini masih
bertahap pada perkembangan kosmologi yang bersifat tradisional dan terikat
kepada nilai-nilai sosiokultural. Terdapat dua
tipe yang dapat membedakan kota Tradisional yang ditentukan oleh letak
geografis kota tersebut, yaitu apabila kota tradisional tersebut terletak di
Pedalaman maka berbasiskan kepada nilai-nilai religious dan Keraton memiliki
peranan yang sangat penting, dan populasi pada umunya mayoritas bersifat
homogeny. Namun apabila posisi geografis kota tersebut di pesisir pantai maka
kota tersebut memiliki hubungan perdagangan yang kuat dengan daerah lain,
sehingga komposisi etnisnya lebih heterogen.
2.
Pada tahap berikutnya ialah kota-kota tersebut berkembang menjadi kota-kota
Hindia yang dimulai ketika Belanda datang ke Nusantara, dan berhasil
menahklukkan kota tersebut dari penguasa local dan kemudian mulai merubah tata
kotanya. Kata-kata Hindia disini digunakan oleh Wertheim untuk merujuk kepada
perpaduan atau percampuran kedua kebudayaan antara Belanda dengan Hindia
(pribumi). Pada mulanya kota-kota ini dibangun dengan konsep langsung dari
Belanda, seperti Batavia yang dibangun berdasarkan konsep kota Amsterdam, dan
kemudian mulai melakukan penyesuaian dengan menggambungkan konsep-konsep local,
seperti penggunaan struktur atap yang berbentuk Piramid yang jugadigunakan pada
rumah-rumah Jawa.
3.
Fase ketiga ialah perkembangan menjadi kota kolonial, fase ini terjadi setelah
adanya liberalisasi ekonomi di Indonesia pada tahun 1870. Adanya kebijakan
tersebut menarik banyak orang-orang Belanda untuk datang ke Indonesia dan
mencoba peruntungan untuk memperbaiki perekonomian. Pembangunan sarana
infrasturkutur transportasi seperti pembangunan jalan, rel kereta api,
pelabuhan beserta fasilitas pergudangannya semakin di gencarkan. Pembangunan
tersebut dilaksanakan untuk mendukung kegiatan ekspor komoditas perkebunan pada
masa itu seperti gula. Munculnya kelas-kelas kaya baik dari kalangan Eropa dan
Timur Asing, serta elit-elit pribumi turut mempengaruhi perkembangan pemukiman
yang berdampak pada perubahan tata kota, dimana kelas-kelas tersebut menempati
bangunan berasiktektur Eropa dan menempati kawasan pemukiman sendiri yang tidak
bercampur dengan perkampungan pribumi.
4.
Fase terakhir ialah perkembangan
kota-kota modern yang terjadi setelah kekuasaan Kolonial mulai runtuh,
permasalahan yang timbul dalam perkembangan kota-kota modern ialah perencanaan
pembangunan kota yang mulai berhadapan dengan permasalahan urbanisasi yang
sangat pesat. Pada masa ini kota-kota modern tersebut berusaha untuk melepaskan
simbol-simbol colonial yang masih ada.
Semarang dan Booming hasil
Perkebunan
Artikel yang ditulis oleh Theo
Stevens, yang berjudul Semarang, Central Java and The World Market 1870 – 1900,
memberikan suatu perspektif baru mengenai perkembangan kota Semarang. Apa yang
diungkapkan oleh Stevens cukup menarik ketika Semarang mengalami perkembangan
yang signifikan ketika politik ekonomi Liberal mulai diterapkan oleh pemerintah
colonial. Menurut Stevens Semarang menuai berkah akibat ekonomi liberal
dikarenakan Semarang dijadikan sebagai pelabuhan untuk mengekspor hasil-hasil
perkebunan dari wilayah Jawa Tengah. Sehingga pembangunan infrastruktur
transportasi seperti rel kereta api serta pembangunan fasilitas pergudangan di
Semarang juga di prioritaskan, untuk menganggkut hasil-hasil perkebunan dari
wilayah pedalaman.
Adanya peningkatan perekonomian
tersebut akhirnya juga menimbulkan kelas-kelas borjuis baru yang terdiri dari
orang-orang Eropa dan Tionghoa, dimana mereka tinggal dikawasan khusus di
semarang yang dapat diliohat dari arsitektur bangunan yang mereka tempati,
dimana gaya bangunan Eropa masih dapat terlihat mencolok dan menjadi pembeda
dengan bangunan kelas menengah kebawah yang tinggal di kampong-kampung. Secara
keseluruhan Steven melihat bahwa factor utama perkembangan kota di Semarang
ialah karena peningkatan ekonomi setelah politik ekonomi liberal dilakukan,
walaupun saya melihat masih ada determinasi lain yang belum diungkapkan.
Balikpapan dan Booming Minyak
Pola peningkatan pembangunan
infrastruktur seperti kota Semarang juga terjadi di Balikpapan dimana kota
tersebut berkembang pesat setelah minyak bumi ditemukan dan dibangunnya pusat
penyulingan minyak untuk keresidenan Kalimantan Tenggara.
Keresidenan Kalimantan Tenggara merupakan salah satu
daerah di luar Jawa yang mengalami perubahan komoditas ekspor. Pada awal tahun
1900an komoditas utama dari keresidenan Kalimantan Tenggara ialah getah
pertjah, rotan, dan tembakau. Munculnya minyak bumi yang merupakan komoditas
baru telah menggeser posisi getah pertjah sebagai komoditas ekspor utama dari
Kalimantan Tengara. Kondisi ini berlangsung pada awal tahun 1910 hingga
menjelang Perang Dunia II. Produksi Minyak bumi baik yang telah diolah ataupun
masih berupa minyak mentah mampu memberikan kontribusi rata-rata lebih dari 50%
dari nilai total ekspor Kalimanatan Tenggara.
Pusat penyulingan minyak mentah di
Kalimantan Tenggara terletak di Balikpapan. Kilang tersebut menyuling minyak
yang berasal dari daerah-daerah konsesi minyak di sekitar Balikpapan. Pada
awalnya terdapat 3 konsesi yang menyuplai kebutuhan minyak mentah untuk
disuling di kilang minyak Balikpapan. Ketiga konsesi tersebut ialah konsesi
Mathilde yang terletak di sekitar teluk Balikpapan, konsesi Louise yang
terletak di daerah Sanga-Sanga sebelah selatan Samarinda, dan konsesi terakhir
ialah konsesi Nonny yang terletak di sebelah timur konsesi Mathilde.
Pembuatan penampungan serta penyulingan minyak
segera dilakukan di sekitar teluk Balikpapan untuk menampung hasil produksi
minyak mentah dari lapangan-lapangan minyak di daerah Balikpapan dan
Sanga-Sanga. Penggabungan antara Shell dengan Royal Dutch menyebabkan proses
produksi dan pengilangan di Balikpapan diserahkan kepada anak perusahaan Royal
Dutch Shell yaitu BPM. Peningkatan permintaan minyak setelah Perang Dunia I
berimbas pada peningkatan produksi di kilang minyak Balikpapan. Peningkatan
produksi dilakukan dengan membangun jaringan pipa minyak dari kilang minyak
Balikpapan hingga lapanga-lapangan minyak yang berada di daerah Samboja dan
Sanga-Sanga.
Pembangunan fasilitas kilang minyak juga dilakukan
seperti penambahan serta modernisasi mesin-mesin destilasi untuk menghasilkan
produk minyak dengan kualitas yang semakin baik. Infrastruktur pendukung
industri minyak juga mulai ditingkatkan, seperti adanya penambahan fasilitas
pergudangan di pelabuhan, pembangunan
jalur telegram, perluasan pemukiman pekerja minyak beserta fasilitas
pendukungnya, adanya pembangunan sarana transportasi baik itu berupa jalan,
lapangan terbang serta pembangkit listrik. Pembangunan berbagai infrastruktur
pendukung industri minyak tersebut menyebabkan wilayah Balikpapan tumbuh
sebagai salah satu wilayah yang ramai di Kalimantan Timur.
Konklusi
Perkembangan
kota-kota kolonial setelah terjadinya liberalisasi ekonomi di Hindia Belanda
setelah tahun 1870 memperlihatkan perkembangan yang sangat signifikan, seperti
meningkatnya pembangunan infrastruktur transportasi yang berhubungan dengan
perdagangan internasional. Timbulnya pemukiman elit-elit eropa, timur asing dan
pribumi yang memarginalkan wilayah pemukiman mereka dari kampong-kampung
pribumi yang mayoritas dihuni oleh pedagang dan tuan tanah pemilik kebun.
Pemukiman elit tersebut timbul sebagai akibat dari kemampanan ekonomi yang
mereka dapatkan akibat perdagangan internasional. Namun apa yang terjadi di
Balikpapan sedikit berbeda walau terjadi pola pemukiman yang sama, dimana
elit-elit eropa menghuni pemukiman yang terpisah dari kampong-kampung pribumi
namun para penghuni pemukiman elit tersebut sebagaian besar merupakan
pegawai-pegawai tinggi perusahaan BPM di Balikpapan.
Terdapat kesamaan yang terjadi
dengan kedua kota tersebut, yaitu bagaimana perekonomian Semarang dan
Balikpapan, yaitu kedua kota tersebut memiliki pondasi ekonomi dengan menghubungkan
kegiatan perekonomian mereka dengan perekonomian dunia, sehingga ketika terjadi
depresi ekonomi di tahun 1930 kedua kota tersebut juga cukup terpengaruh dengan
adanya kemunduran ekonomi tersebut, dimana mulai timbulnya pengangguran akibat
pabrik-pabrik berhenti beroperasi dan harga-harga komoditas pokok yang mulai
naik, sehingga timbullah inflasi yang cukup tinggi.
Sumber Bacaan
Nas, Peter.J.M. The
Indonesian City: Studies in Urban Development and Planning. Dordrecth:
Floris Publication, 1986. [Verhandelingen KITLV 117]
Pratama, Akhmad Ryan. Industri Minyak Balikpapan Dalam Dinamika Kepentingan Sejak Pendirian
Hingga Proses Nasionalisasi. Malang: Penerbit Univ Neg Malang, 2012.
[1]
Peter J.M. Nas. The Indonesian Cities: Studies
in Urban Development and Planning. (Dordrecht: Foris Publication, 1986).
[Verhandelingen KILTV 117], hlm. 5 – 13.