“Lucien Febvre use to say ‘history is man.’ I
on the other hand
say: ‘history is man and everything else’.
Everything is history:
soil, climate, geological movements.”
(Fernand Braudel, 1984, apud Moore,
2003, p. 431)
Pendahuluan
Saya tergugah untuk menuliskan historiografi
lingkungan ketika membaca artikel disebuah surat kabar mengenai keadaan penataan
rekonstruksi sebuah kota di provinsi Aceh yang tidak belajar dari tsunami yang
terjadi pada tahun 2006. Ratusan rumah dibangun kembali di lokasi yang sama
pada saat gelombang tsunami mampu menjangkau tempat tersebut. Menurut analisis
dari seorang ahli mitigasi bencana yang dituliskan dalam koran tersebut
ternyata proses rekonstruksi tempat tersebut tidak belajar dari pengalaman
sebelumnya, kemudian ia membandingkan bagaimana rekonstruksi pasca bencana yang
dilakukan oleh Jepang yang tidak
melakukan konstruksi bangunan ditempat-tempat yang pada saat itu telah tercapai
Tsunami, Jepang merelokasi semua warga dari tempat rawan bencana tersebut. Ahli
tersebut juga berujuar bahwa ketika Jepang melakukan rencana untuk rekonstruksi
pasca bencana alam, puluhan ahli dari berbagai disiplin ilmu, termasuk sejarah,
dan ilmu-ilmu budaya dikumpulkan untuk merumuskan konsep rekonstruksi yang
tepat dan manusiawi.
Lingkungan
memiliki kekuatan besar dalam mempengaruhi kehidupan sosial dan kultural
masyarakat yang tinggal didalamnya, sehingga Boomgard juga mengatakan
pendapatnya mengenai daya dukung lingkungan terutama air terhadap manusia:
Water from
rivers and lakes, if clean, is a life-giving force. It produces good drinking
water, and in the past has enabled the ‘Malays’ to bathe frequently something
they availed themselves with enthusiasm. However, pollution of inland water
turns these advantages into evident disadvantages, and it would appear that not
all riverine people have made this transition to a policy of water evidence.
Apa
yang dikatakan oleh Boomgard mengandung makna yang cukup jelas, bagaimana
lingkungan khususnya air dapat dianalogikan sebagai sebuah pedang bermata dua.
Apabila manusia bisa bijak memanfaatkan alam serta tidak berlebihan, maka alam
akan memberikan manfaat atau keuntungan bagi manusia. Namun bila manusia hanya
melakukan perusakan melebihi batas toleransi dari lingkungan itu sendiri, maka
manfaat tersebut berubah menjadi kerugian dan malapetaka. Seperti yang
dituliskan oleh harian Kompas, dengan tajuk yang sangat menarik yaitu, “Ibu Kota Tanpa Harapan”, harian Kompas
rupanya berupaya untuk melaporkan bagaimana situasi ibukota yang mungkin tidak
bisa memenuhi harapan warganya untuk dapat hidup dengan nyaman dan harmoni
bersama alam dikarenaka banjir hampir terjadi di seluruh tempat di Jakarta. Banjir
di Jakarta disebabkan adanya kesalahan pengelolaan dalam perencanaan tata
ruang, kondisi ini juga diperparah dengan kebiasaan masyarakat yang tidak
memperhatikan lingkungan.
Paparan
fakta yang disebutkan diatas juga sudah cukup untuk menjadi bukti bahwa kajian
sejarah yang mencakup interaksi antara manusia diperlukan untuk memprediksi apa
yang terjadi di masa depan, dan bagaimana mengatasi permasalahan-permasalahan
lingkungan diatas. Adanya pemaparan fakta mengenai bencana lingkungan yang
kebanyakan disebabkan ulah manusia akibat gaya hidup “modernya” membuat adanya
suatu asumsi yang mengatakan bagaimana keadaan manusia sebelum adanya
modernisasi dalam kehidupan mereka?. Dalam pengertian ini apahkah gaya hidup
modern manusia telah merusak alam?, dan bagaimana gaya hidup manusia yang pada
masa lalu masih tradisional dimana kerusakan alam dapat ditekan seminimal
mungkin. Apahkah era keemasan manusia ketika mereka dapat menjaga keseimbangan
dan harmonisasi dengan alam telah berakhir?.
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut akhirnyan mengusik perhatian dari seorang sejarawan lingkungan bernama
Donald Worster, “daripada mengkonsep bagaimana terbentuknya masa lalu, lebih
baik kita mempelajari bagaimana manusia terpengaruh dengan kondisi lingkunganya
sepanjang masa, dan bagaimana manusia mempengaruhi lingkungan dan apa
pengaruhnya?. Sudah
sepantasnya sejarah lingkungan menjadi sangat penting dilakukan, mengingat lingkungan
selalu berdampak pada segala aspek kehidupan sosial, budaya serta politik
manusia. Diharapkan tulisan ini dapat menjelaskan sedikitnya mengenai apa itu
sejarah lingkungan, apa objek kajian dari sejarah lingkungan itu sendiri, dan
bagaimana perkembangan penulisan historiografi lingkungan yang mengambil objek
penelitian di kawasan Indonesia yang merupakan salah satu kawasan didunia yang
memiliki keanekaragaman hayati yang paling kompleks. Apalagi setelah pada dekade
antara tahun 1970an hingga decade 1980an ketika orde baru berkuasa mereka
menggunakan politik eksploitasi alam yang sangat kuat untuk mendapatkan uang
dengan cara cepat, karena itu laju kerusakan alam (terutama hutan) di Indonesia
merupakan salah satu yang tercepat di Asean dan dunia.
Indonesia masuk dalam kategori bahaya lingkungan, dan apabila kerusakan
lingkungan tersebut tidak segera dihentikan dan ditangani maka akan
membahayakan masyarakat dan perekonomian nasional, seperti yang diketahui
keruskana lingkungan cenderung mendorong terjadinya bencana alam. Apabila
bencana alam yang diakibatkan ulah manusia terjadi maka akan menyebabkan
kerugian secara jiwa, dan ekonomi. Itulah yang menjadi alasan kuat bagi saya
untuk menegaskan pentingnya historiografi lingkungan bagi Indonesia.
Definisi sejarah Lingkungan
Tidak
ada definisi yang pasti mengenai apa itu sejarah lingkungan, namun sejarah
lingkungan berasal dari hasil-hasil studi para naturalis Inggris pada abad
XVIII, pada masa itu tidak ada pembedaan antara keingintahuan terhadap sejarah
dan lingkungan. Semunya berjalan dalam sebuah wadah yang sama,
sehingga apabila seorang naturalis akan melakukan penelitian mengenai alam maka
ia juga akan meneliti mengenai sejarah disekitar lingkungan yang diteliti.
Dalam perjalanannya apa yang disebut dengan ‘natural history’ akhirnya harus terpecah menjadi sebuah
spesialisasi sendiri. Sejarah menjadi sebuah pekerjaan yang lebih mementingkan
pengejaran data-data dalam bentuk arsip semata yang dikerjakan oleh
ilmuwan-ilmuwan perkotaan. Namun terdapat beberapa kelompok yang akhirnya
berbicara dengan mengedepankan beberapa fakta keras, seperti persediaan pangan,
suplai energy, dan teknologi peradaban, lebih lanjut sekelompok ilmuwan
tersebut akhirnya membicarakan apa yang disebut dengan ‘environmental history’ atau sejarah lingkungan.
Kebanyakan
ilmuwan dan sejarawan memandang bahwa sejarah lingkungan merupakan penjelasan
mengenai interaksi antara manusia dengan alam pada masa lalu. Berdasarkan
pendapat Timo Myllyntaus, terdapat 5 hal yang dapat membedakan kajian sejarah
lingkungan dengan kajian lainnya. Pertama ialah kajian sejarah lingkungan
memfokuskan pada perubahan jangka panjang pada lingkungan. Kedua perspektif
dari kajian sejarah lingkungan tidak terikat hanya pada batas-batas
administrasi negara, namun kajian sejarah lingkungan selalu terhubung dengan
dunia international, atau bisa juga lintas negara. ketiga kajian sejarah
lingkungan memiliki tendensi untuk memecahkan permasalahan, karena menggunakan
berbagai macam pendekatan terutama ilmu pengetahuan alam. Keempat kajian
sejarah lingkungan berorientasi untuk mencari permasalahan antara sejarah yang
bersifat luas (lingkungan) dan aspek dimensi sosial yang merupakan suatu
refleksi dari kajian sejarah lingkungan
di Amerika Utara dimana pada saat itu sejarah lingkungan merupakan sebuah
gerakan yang mencerminkan preservasi dan konservasi terhadap lingkungan.
Terakhir sejarah lingkungan memiliki tendensi untuk merefleksikan pandangan
kita terhadap masa lalu.
Label
sejarah lingkungan ternyata juga disematkan oleh ahli-ahli antropologi. Hanya
saja mereka menyebutnya dengan sejarah ekologi, namun definisi itu menjadi
sebuah perdebatan dikalangan ahli hingga saat ini. Seperti yang diungkapkan
oleh Carole Crumley menyamakan bahwa sejarah lingkungan sama dengan sejarah
‘landscape’. Ia berpendapat bahwa studi sejarah lingkungan merupakan kajian
mengenai ekosistem dimasa lalu dengan melihat perubahan yang terjadi
dilingkungan dari masa lalu hingga saat ini, dan melihat relasi dialektika
antara tingkah manusia dan bagaimana alam bereaksi, kedua objek ini harus
diobservasi sebagai bagaian dari kesatuan ‘landscape’.
Sementara
William Balee berpendapat bahwa focus dari kajian sejarah ekologi ialah
interpenetrasi terhadap kebudayaan dan lingkungan, ketimbangn bagaimana manusia
dapat beradaptasi dengan lingkungannya. William Balee menyimpulkan terdapat 4
wilayah dari definisi kajian lingkungan. Pertama ialah bagaimana aktivitas
manusia berdampak cukup besar atau tidak pada lingkungannya. Kedua ialah
bagaimana aktivitas manusia mengurangi atau meningkatkan kualitas
lingkungannya. Ketiga ialah bagaimana kebijakan ekonomi politik memiliki
berbagai macam efek terhadap lingkungan dan imajinasi sejarah sebagai bagian
dari politik ekonomi. Keempat ialah bagaimana komunitas manusia, kebudayaan,
landskap dan wilayah dapat dipahami sebagai kesatuan dari sebuah fenomena.
Peter
Boomgard mengatakan bahwa sejarah lingkungan atau sejarah ekologi merupakan
sebuah spesialisasi baru dalam kajian sejarah di Indonesia. Memang benar
apabilah sejarah lingkungan mengandung kajian-kajian dari sejarah agrikulutr,
sejarah demografi, dan sejarah lingkungan. Namun yang baru dari kajian sejarah
lingkungan di Indonesia bagaimana usaha sejarawan untuk mengumpulkan
arsip-arsip dan publikasi sebagai data sekunder. Selain itu sejarawan yang akan
membahas sejarah lingkungan harus mencari sebuah penjelasan teoritis mengenai
perkembangan yang terjadi dimasa lalu dimana kadangkala perhatian ini luput
dari sejarawan, karena mereka tidak memiliki landasan teoritis dan kerangka
konsep yang jelas mengenai kajian sejarah lingkungan. Kebanyakan mereka
membangun kerangka konsep serta teori berdasarkan pengamatan terhadap perubahan
lingkungan saat ini.
Kapita Selekta Historiografi
Lingkungan
` Pembicaraan
mengenai sejarah lingkungan sebenarnya sudah disinggung dalam perkuliahan
Historiografi yang diampu oleh Sri Margana, dalam perkuliahan tersebut
disinggung mengenai sebuah buku yang ditulis oleh Mary Catherine Quilty, yang
berjudul Textual Empires: A Reading of
Early British Histories of Southeast Asia. Dalam buku itu terutama bab 1
yang berjudul Natural Histories digambarkan
bagaimana sebuah historiografi lingkungan yang dilakukan oleh kedua orang
Naturalis berkebangsaan Inggris pada awal abad XIX, yaitu Raflles dan Marsden. Marsden yang akhirnya menghasilkan sebuah
karya yang berjudul History of Sumatra
dan ia dianggap sebagai seorang inisiator bagi orang-orang eropa (khususnya
Inggris) untuk mengetahui mengenai Asia Tenggara lebih detail lagi.
Buku
History of Sumatra karya Marsden pada
masa itu dijadikan sebagai sebuah model mengenai pembelajaran bagaimana
menuliskan sebuah monografi mengenai sebuah sejarah, bahasa, adat istiadat, dan
bagaimana mengumpulkan data-data statitistik tersebut dari beberapa negara. Apa
yang telah dilakukan oleh Marsden, Apahkah bisa dianggap sebagai dasar bagi
ilmuwan-ilmuwan pada masa itu untuk kemudian menggunakan model tersebut dalam
melakukan kajian terhadap Asia Tenggara beserta lingkungannya? Terdapat 3
kategori bagaimana tulisan Marsden tersebut dapat disebut sebagai tulisan
scientific. Pertama ialah bagaimana ia melakukan sebuah observasi, kedua ialah
bagaimana Marsden hanya mempresentasikan atau menyajikan data-data yang
esensial dan ketiga serta terakhir ialah bagaimana Marsden mempunyai alasan
yang kuat untuk melakukan saintifikasi.
Dalam History of Sumatra memang
terlihat Marsden hanya memberikan mengenai gambaran keadaan geografi dan
ekologi di Sumatra, seperti bagaimana Marsden menuliskan mengenai jumlah flora
dan fauna yang ada di Sumatra, bagaimana Marsden juga menuliskan mengenai
hewan-hewan apa saja yang ada didalam suatu rawa-rawa yang ia lihat. Apa yang
dilakukan oleh Marsden terkesan hanya melaporkan hasil observasi yang telah ia
lakukan, walaupun demikian hasil kerja Marsden memberikan sebuah landasan yang
paling penting mengenai keberhasilan naturalis dalam menyingkap tabir alam di
Sumatra, yaitu dengan melakukan eksplanasi casualitas terhadap objek
observasinya, apabila terdapat gejala terhadap objek yang ia observasi dan
tidak dapat dijelaskan secara casualitas maka ia akan memberikan pengecualian terhadap
objek itu agar tidak ditulis. Secara keseluruhan History of Sumatra yang ditulis oleh Marsden merupakan sebuah simbol
kesuksesan manusia (Bangsa Inggris) dalam menahklukkan tantangan “alam” yang
ada di Sumatra Barat. Tantangan “alam” disini menurut saya bukan
hanya merujuk pada keadaan geografis saja, tetapi alam disini merupakan
kesatuan ekosistem beserta manusianya (suku-suku yang ada di Sumatra). Karena
Marsdem pada masa itu berada di Sumatra untuk menstabilkan rute perdagangan
Inggris, sehingga menurut saya pengamatan yang dilakukan oleh Marsdem tidak semata-mata
untuk memenuhi tuntutan keingintahuan seorang naturalis terhadap alam, namun
juga bagaimana menganalisis sebuah lingkungan dan manusianya, kemudian menyusun
sebuah permasalahan atau tantangan yang dihadapi Marsdem dalam menstabilkan
perdagangan tersebut dan kemudian mencari cara bagaimana mengatasinya. Seperti
contoh bagaimana Marsden bisa menganalisis arah angin untuk keselamatan
kapal-kapal kargonya.
Tidak
jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh Marsden, Raflles dalam bukunya history of java, dalam
buku tersebut Raflles tidak hanya mempelajari mengenai lingkungan yang ada di
Indonesia, sebagaimana Raflles mendata jenis flora-fauna serta nama-nama gunung
yang ada di Indonesia. Namun Raflles juga menggunakan pendekatan antropologi
dalam menuliskan mengenai keadaan masyarakat yang ada dalam lingkungan
tersebut. Raflles juga menggunakan sumber-sumber local dalam penyusunan buku
tersebut, sehingga menjadikan buku tersebut kaya akan data-data mengenai
hubungan antara alam dan manusianya.
Para
sarjana Belanda yang dimotori oleh Peter Boomgard telah menuliskan sebuah buku
mengenai studi lingkungan yang berjudul Paper
Landscapes: Explorations in The Environmental History of Indonesia. Buku
ini berisi mengenai berbagai macam artikel yang membahas kajian lingkungan di
Indonesia dengan menggunakan berbagai macam pendekatan. Sehingga artikel yang
tersusun dalam buku ini membicarakan menegnai lingkungan, manusia dan aktivitas
apa saja yang dilakukan dalam landskap tersebut. Artikel dalam buku tersebut
hampir sebagaian besar merupakan kajian lingkungan yang berkaitan dengan proses
eksploitasi alam, perumbuhan populasi penduduk, bahaya penyakit, yang selalu
memunculkan kebijakan politik dan ekonomi dan mempengaruhi masyarakatnya, dan
dapat disimpulkan bahwa kajian sejarah lingkungan tidak dapat dipisahkan dengan
kajian ekonomi, sosial, dan politik.
Sebuah
artikel yang ditulis oleh Eric Tagliacozzo, yang berjudul Onto the coasts and into the forest: Remifications of The China Trade
on The Ecological History of Northwest Borneo, 900 – 1900 CE. Artikel
yang ditulis dengan menggunakan sumber-sumber berupa catatan-catatan perjalanan
China dan bukti-bukti arkeologi ini menyebutkan bahwa sebenarnya interaksi
antara China dengan orang-orang di Kalimantan khususnya Melayu telah terjadi
antara tahun 900 – 1900, dari masa dinasti Sung hingga dinasti Tang. Ketika
pusat perdagangan di Kanto tumbuh kenaikan kebutuhan China terutama akan
hasil-hasil produksi hutan yang dihasilkan oleh Kalimantan meningkat pesat.
Produk-produk ekonomis yang berasal dari lingkungan seperti sarang burung,
teripang, rotan, dan kamper menjadi sebuah komoditas yang sangat penting bagi
para pedagang asing. Hal ini akhirnya menjadi sebuah pemicu atas interaksi
perdagangan yang semakin intens dan terstruktur rapi. Hasilnya banyak pemukiman
semi nomaden yang ada di pesisir Kalimantan yang mengadopsi kebudayaan etnis lainnya
untuk keperluan perdagangan dengan China. Artikel tersebut merefleksikan
bagaimana sebuah lingkungan mampu mempengaruhi tingkah laku manusia yang ada
didalamnya.
Knappen
sendiri mencoba menjelaskan bagaimana kondisi lingkungan serta kondisi
masyarakat di Kalimantan Timur sebelum abad XX dengan menggunakan catatan
seorang petualang sekaligus penjelajah berkebangsaan Norwegia yang ditugaskan
oleh Pemerintah Hindia Belanda, yaitu Carl Bock. Bukunya yang berjudul The Head Hunters mengisahkan bagaimana
perjalanannya dari Tenggarong ibukota Kutai hingga ke Banjarmasin. Dalam buku
itu Bock melihat bahwa didaerah pesisir timur Kalimantan sudah ditinggali oleh
orang-orang Bugis, Melayu, Arab dan China. Bock melihat mengapa populasi
penduduk di Kalimantan pada akhir abad XIX masih sangat sedikit, ia menyelidiki
hal tersebut dan mendapatkan beberapa penyebab, yaitu wabah penyakit terutama
Malaria, dan yang membuat ia tercengang ialah adanya tradisi berburu kepala
yang dilakukan oleh Suku Dayak, orang Belanda menyebutnya Koppensenellen dan dalam bahasa setempat disebut dengan tradisi Ngayau. Bock mengamati bahwa kegiatan
perekonomian yang dilakukan antara orang-orang Dayak dan Melayu berbeda,
beberapa etnis dari orang-orang Dayak masih menutup diri mereka dari interaksi
orang asing, mereka hanya melakukan aktivitas semi nomaden, seperti berburu dan
meramu serta sedikit melakukan aktivitas lading berpindah untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Sementara itu orang-orang melayu sudah melakukan aktivitas
perdagangan dengan orang-orang Bugis, China dan Eropa. Sehingga dapat
dijelaksan bahwa knappen melihat sejarah lingkungan bukan hanya mempelajari
kondisi lingkungan namun juga manusianya dengan melihat aktivitas manusia
terhadap alam yang menjurus kepada aktivitas ekonomi, seperti melakukan
eksploitasi dan perburuan.
Adrian B
Lapian dalam artikelnya yang berjudul Nusantara: Silang Bahari dalam buku Panggung
Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Dennys Lombard menuliskan mengenai efek
dampak dari letusan gunung Tambora terhadap jaringan masayarakat bahari yang
terkena dampak dari letusan gunung tersebut terutama yang tinggal sangat dekat
dengan gunung itu.
Adrian B lapian menuliskan bahwa dampak dari letusan gunung tersebut sangat
dahsyat sehingga memusnahkan kerajaan local yang ada di daerah tersebut. Bahaya
kelaparan mengacam setelah musibah letusan gunug tersebut, karena tanah sangat
asam sehingga tidak dapat ditanami oleh tanaman pangan. Akibat dari letusan
gunung tersebut terjadi perubahan sosial ekonomi, masyarakat yang semula hidup
menjadi petani dan pedagang tiba-tiba segala aktivitasnya terhenti dan
melakukan perubahan terhadap mata pencaharian. Apa yang telah dituliskan oleh
Adrian B Lapian merupakan sebuah realita bagaimana alam khususnya lingkungan
mampu mengubah aktivitas manusia, dapat dikatakan bahwa aktivitas manusia
terpengaruh oleh lingkungan tempatnya tinggal.
The uses of Environmental History
Mengutip
apa yang dikatakan oleh John Tosh dalam bukunya yang berjudul Pursuit of History yang dimulai dengan
sebuah kalimat Tanya yang sangat sederhana dan pendek, namun sangat panjang dan
sulit untuk dijelaskan, yaitu Apa yang kita dapatkan dari (belajar) sejarah?. Studi sejarah lingkungan sangat bermanfaat
sebagai dasar pembangunan di berbagai bidang yang bersifat berkelanjutan,
terutama yang berkaitan dengan eksploitasi alam untuk kepentingan ekonomi dan
dampak setelah eksploitasi alam itu terhadap manusia. Karena perkembangan
sejarah lingkungan di Amerika sejalan dengan upaya gerakan pelestarian lingkungan
di negara tersebut. Sejarah lingkungan tidak hanya berbicara mengenai
lingkungan, namun juga bagaimana aktivitas manusia yang ada dalam lingkungan
tersebut, karenanya sejarah lingkungan dapat dijadikan sebagai sebuah sarana
untuk melakukan mitigasi bencana, sehingga apabila terjadi bencana alam jumlah
jatuhnya korban dapat ditekan seminimal mungkin. Dengan mempelajari sejarah
lingkungan diharapkan manusia mampu melakukan harmonisasi dengan lingkungannya,
sehingga lingkungan bersikap ramah dan menjadi sebuah berkah bagi manusia bukan
malah sebagai ancaman atau bencana.
Penutup
Sejarah
Lingkungan merupakan sebuah tema baru dalam historiografi Indonesia, analisis
pengembangan sejarah lingkungan yang merupakan salah satu unsure pendukung
dalam perbaikan interaksi antara alam dan manusia, sehingga menjadikan studi
sejarah lingkungan tidak dapat dipandang sebelah mata. Apalagi terkadang
penggunaan data-data dalam penelitian sejarah lingkungan merupakan sebuah
kombinasi dari berbagai macam disiplin ilmu. Mulai dari penggunaan pendekatan
ekonomi, antropologi, sosial, politik, hingga menggunakan pendekatan dari
ilmu-ilmu alam. Sejarah lingkungan perlu dikembangkan di Indonesia, seperti
kata Boomgard bahwa sejarah lingkungan lahir karena observasi yang dilakukan
terhadap lingkungan saat ini, dimana kerusakan lingkungan di Indonesia sudah
cukup parah dan perlu segera diadakan sebuah perbaikan yang dimulai dari
birokrasi serta manajemen pengelolaan lingkungan mulai dari pusat hingga
daerah. Artikel ini saya harap bermanfaat untuk sedikit menjawab serta
merefleksikan mengenai bagaimana terjadinya bencana alam yang terjadi di
Indonesia akhir-akhir ini yang sebagaian besar disebabkan ulah manusia,
terutama banjir dan tanah longsor.
Daftar Pustaka
Bert
de Vries and Johan Goudsblom. (ed). Mappae
Mundi: Humans and their Habitats in a Long-Term socio-Ecological Perspective
Myth, Maps, and Models. Amsterdam: Amsterdam University Press, 2002.
Boomgard, Peter. (ed). A World of Water: Rain, Rivers, and Seas in
Southeast Asian Histories. Leiden: KITLV Press, 2007. [Verhandelingen KITLV
240]
Boomgaard, Peter Freek Colombijn,
David Henley. (ed). Paper Landscapes:
Explorations in The Environmental History of Indonesia. Leiden: KITLV
Press, 1997. [Verhandelingen KITLV 178]
Hidayat,
Herman. Politik Lingkungan: Pengelolaan
Hutan Pada Masa Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: Yayasan Obor, 2011.
Lindblad, J. Thomas (ed). Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai
Tantangan Baru. Terj. Bambang Purwanto dan Arief Rohman. Jakarta: Pustaka
LP3ES. 2000
Lindblad, J. Thomas. Between Dayak and The Dutch: The Economic
History in Southeast Kalimantan 1880 – 1942. Dordrecth: Foris, 1988.
[Verhandelingen KITLV 134]
Loir, Henri
Chambert dan Hasan Muarif Ambary. (ed). Panggung
Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Dennys Lombard. Jakarta: Yayasan
Obor, 2011.
Knappen, Han. Forest of Fortune?: The Environmental History of Southeast Borneo, 1600
– 1880. Leiden: KITLV Press, 2001. [Verhandelingen KITLV 189]
Wadley, Reed L. (ed) Histories of The Borneo Environment:
Economic, Political and Social Dimensions of Change and Continuity. Leiden:
KITLV Press, 2005. [Verhandelingen KITLV 231]
Worster,
Donald. The Ends of The Earth;
Perspectives on Modern Environmental History. Cambridge: Cambridge University
Press, 1988.
Worster, Donald.
The Wealth of Nature: Environmental
History and The Ecological Imagination. (New York: Oxford University Press,
1993)
Boomgard, Peter. (ed). A World of Water:
Rain, Rivers, and Seas in Southeast Asian Histories. Leiden: KITLV Press,
2007. [Verhandelingen KITLV 240], hlm 2.
Reed
L. Wadley,. (ed) Histories of The Borneo
Environment: Economic, Political and Social Dimensions of Change and
Continuity. (Leiden: KITLV Press, 2005). [Verhandelingen KITLV 231], hlm.
3.
Peter Boomgaard, Freek Colombijn, David Henley. (ed). Paper Landscapes: Explorations in The Environmental History of
Indonesia. Leiden: KITLV Press, 1997. [Verhandelingen KITLV 178], hlm. 1 –
26.
Reed
L. Wadley. Histories of The Borneo
Environment: Economic, Political and Social Dimensions of Change and
Continuity. (Leiden: KITLV Press, 2005). [Verhandelingen KITLV 231] hlm. 25
- 59
Lebih
jelas silahkan baca Han Knappen,. Forest
of Fortune?: The Environmental History of Southeast Borneo, 1600 – 1880.
Leiden: KITLV Press, 2001. [Verhandelingen KITLV 189]