Apa yang ditulis oleh Fasseur mengenai tanam paksa
memberikan sebuah perspektif baru dalam memandang pelaksanaan kebijakan tanam
paksa yang dicetuskan sejak tahun 1830 hingga 1870. Apa yang dikemukakan
Fasseur dalam tulisannya merupakan suatu hal yang sangat kontra dengan
pandangan yang dilontarkan oleh sejarawan-sejarawan Indonesia sentris dan telah
dibakukan dalam buku-buku teks pelajaran di Indonesia. Dalam artikel yang
ditulis oleh Fasseur yang berjudul The
Cultivation and it’s impact on the Dutch colonial economy and the indigenous
society in nineteenth-century Java, Fasseur secara terbuka menyebutkan
terjadi perubahan yang signifikan dalam kegiatan perekonomian masyarakat di desa-desa
di Jawa yang dijadikan basis penerapan tanam paksa. Ada beberapa indikator yang
digunakan Fassseur untuk menilai peningkatan ekonomi di pedesaan jawa yang
menjadi basis penerapan tanam paksa, pertama ia menilai dari tingkat
kepemilikan hewan ternak yang mengalami peningkatan, kedua adanya peningkatan
pembelanjaan rumah tangga di pedesaan, ketiga ialah bertambahnya luas wilayah
yang dijadikan basis penerapan tanam paksa, keempat ialah bertambahnya jumlah
pasar dan kelima ialah terbentuknya desa-desa baru. Selain itu Fasseur dengan
mengamini pendapat JS. Furnivall melihat bahwa akibat tanam paksa ternyata
membuat perekonomian pemerintah Belanda tumbuh sangat pesat, dengan masuknya
uang-uang hasil penjualan komoditi tersebut ke Belanda, selain itu tanam paksa
membuat armada kapal dagang Hindia Belanda meningkat dengan sangat pesat. Namun
terdapat hal yang sangat menarik mengenai data yang dituliskan oleh Fasseur
yaitu adanya peningkatan penduduk Jawa yang sangat pesat, dari masa Raflles
dimana jumlah penduduk Jawa hanya sekitar 8 Juta Jiwa menjadi hampir 30 Juta
pada akhir abad XIX. Menurut saya data ini sangat menarik apabila dikaitkan
dengan mitos yang dinarasikan oleh sejarawan Indonesiasentris mengenai penderitaan
yang dialami oleh masyrakat Jawa akibat kurangnya pangan, bahaya penyakit,
perekonomian yang buruk sehingga secara rasional seharusnya implikasi logis
akibat penerapan sistem tanam paksa ialah tingginya angka mortalitas, namun
data yang ditunujukkan oleh Fasseur menunjukkan realitas yang terbalik, dimana
selama sistem tanam paksa jumlah populasi penduduk di Jawa meningkat pesat.
Fakta-fakta yang diungkapkan oleh Fasseur seolah-olah
menghancurkan mitos-mitos lama mengenai sistem tanam paksa yang selama ini
diajarkan di sekolah-sekolah Indonesia yang terpengaruh dekonstruksi Indonesiasentris.
Dalam perspektif yang dinarasikan oleh sejarawan Indonesiasentris mengenai
tanam paksa seolah-olah apa yang dilakukan oleh pemerintah colonial dalam
pengaplikasian tanam paksa ialah suatu praktek ekploitasi yang tidak
berperikemanusiaan, dimana rakyat pedesaan Jawa menjadi korban sasaran
eksploitasi oleh pemerintah colonial mereka digambarkan sangat menderita, angka
kematian meningkat sangat tajam akibat bahaya kelaparan karena gagal panen dan
penyebaran penyakit. Narasi yang dibangun oleh kalangan sejarawan
Indonesiasenris sepertinya menihilkan atau menghilangkan dampak (yang menurut
fasseur positif walaupun tidak disebutkan secara terang-terangan) lain dari
tanam paksa. Secara sederhana dapat dicontohkan bagaimana sejarawan
Indonesiasentris memandang bahwa sistem tanam paksa merupakan prakte
eksploitasi, yaitu dari penafsiran Cultuur Stelsel (Cultivation System) yang
ditafsirkan menjaddi tanam paksa, pemilihan diksi kata yang seolah-olah
mengkultuskan bahwa emerintah colonial merupakan subjek pemaksa dan masayarakat
pedesaan Jawa merupakan korban yang menderita dari sistem yang diterapkan oleh
pemerintah kolonial ini. Tulisan Fasseur ini seolah-olah menjadi penyeimbang
bagi narasi-narasi dekonstruksi Indonesiasentris mengenai tanam paksa, namun bisa
juga menjadi sebuah sumber perdebatan baru yang mungkin saja terjadi (?).
Permasalahan yang kemudian muncul akibat adanya dua
perspektif berbeda yang memandang sistem tanam paksa menurut saya ialah kembali
mempertanyakan konsep kolonialisme. Mengapa konsep kolonialisme tersebut patut
dipertanyakan, seperti fakta atau realitas yang telah diungkapkan oleh Fasseur
bahwa secara garis besar implikasi dari penerapan tanam paksa ialah adanya
perubahan ekonomi yang sangat pesat di Jawa, sepertinya masuknya sistem uang
dan modal serta terbentunya desa-desa baru. Sekali lagi apa yang dituliskan
oleh Fasseur ini seolah-olah menghancurkan mitos yang dinarasikan oleh
sejarawan Indonesiasentris bahwa sistem tanam paksa merupakan sistem
eksploitasi terhadap masyarakat pedesaan jawa yang tidak berperikemanusiaan dan
merugikan mereka. Akhirnya muncul suatu pertanyaan besar mengenai konstruksi
narasi tanam paksa atau Cultuur Stelsel, “Apahkah sistem tanam paksa merupakan
bentuk kolonialisme?” mengingat sistem tersebut ternyata juga mampu
meningkatkan perekonomian Jawa dan merubah Jawa hampir secara keseluruhan di
bidang sosial, walaupun tidak dapat dielakkan adanya realita bahwa sebagaian
masyarakat pedesaan Jawa ikut menderita (bahaya kelaparan, pajak yang semakin
tinggi, ekploitasi oleh elit lokal) akibat sistem tersebut.
Sumber Bacaan Pendukung:
Furnivall, J.S. Hindia
Belanda: Studi Tentang Ekonomi Majemuk. Terj. Samsudin Berlian. Jakarta:
Freedom Institute, 2009.
Lindblad, J. Thomas (ed). Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru. Terj.
Bambang Purwanto dan Arief Rohman. Jakarta: Pustaka LP3ES. 2000