Rabu, 07 November 2012

Apahkah Sistem Tanam Paksa Merupakan Bentuk Kolonialisme?





Apa yang ditulis oleh Fasseur mengenai tanam paksa memberikan sebuah perspektif baru dalam memandang pelaksanaan kebijakan tanam paksa yang dicetuskan sejak tahun 1830 hingga 1870. Apa yang dikemukakan Fasseur dalam tulisannya merupakan suatu hal yang sangat kontra dengan pandangan yang dilontarkan oleh sejarawan-sejarawan Indonesia sentris dan telah dibakukan dalam buku-buku teks pelajaran di Indonesia. Dalam artikel yang ditulis oleh Fasseur yang berjudul The Cultivation and it’s impact on the Dutch colonial economy and the indigenous society in nineteenth-century Java, Fasseur secara terbuka menyebutkan terjadi perubahan yang signifikan dalam kegiatan perekonomian masyarakat di desa-desa di Jawa yang dijadikan basis penerapan tanam paksa. Ada beberapa indikator yang digunakan Fassseur untuk menilai peningkatan ekonomi di pedesaan jawa yang menjadi basis penerapan tanam paksa, pertama ia menilai dari tingkat kepemilikan hewan ternak yang mengalami peningkatan, kedua adanya peningkatan pembelanjaan rumah tangga di pedesaan, ketiga ialah bertambahnya luas wilayah yang dijadikan basis penerapan tanam paksa, keempat ialah bertambahnya jumlah pasar dan kelima ialah terbentuknya desa-desa baru. Selain itu Fasseur dengan mengamini pendapat JS. Furnivall melihat bahwa akibat tanam paksa ternyata membuat perekonomian pemerintah Belanda tumbuh sangat pesat, dengan masuknya uang-uang hasil penjualan komoditi tersebut ke Belanda, selain itu tanam paksa membuat armada kapal dagang Hindia Belanda meningkat dengan sangat pesat. Namun terdapat hal yang sangat menarik mengenai data yang dituliskan oleh Fasseur yaitu adanya peningkatan penduduk Jawa yang sangat pesat, dari masa Raflles dimana jumlah penduduk Jawa hanya sekitar 8 Juta Jiwa menjadi hampir 30 Juta pada akhir abad XIX. Menurut saya data ini sangat menarik apabila dikaitkan dengan mitos yang dinarasikan oleh sejarawan Indonesiasentris mengenai penderitaan yang dialami oleh masyrakat Jawa akibat kurangnya pangan, bahaya penyakit, perekonomian yang buruk sehingga secara rasional seharusnya implikasi logis akibat penerapan sistem tanam paksa ialah tingginya angka mortalitas, namun data yang ditunujukkan oleh Fasseur menunjukkan realitas yang terbalik, dimana selama sistem tanam paksa jumlah populasi penduduk di Jawa meningkat pesat. 
Fakta-fakta yang diungkapkan oleh Fasseur seolah-olah menghancurkan mitos-mitos lama mengenai sistem tanam paksa yang selama ini diajarkan di sekolah-sekolah Indonesia yang terpengaruh dekonstruksi Indonesiasentris. Dalam perspektif yang dinarasikan oleh sejarawan Indonesiasentris mengenai tanam paksa seolah-olah apa yang dilakukan oleh pemerintah colonial dalam pengaplikasian tanam paksa ialah suatu praktek ekploitasi yang tidak berperikemanusiaan, dimana rakyat pedesaan Jawa menjadi korban sasaran eksploitasi oleh pemerintah colonial mereka digambarkan sangat menderita, angka kematian meningkat sangat tajam akibat bahaya kelaparan karena gagal panen dan penyebaran penyakit. Narasi yang dibangun oleh kalangan sejarawan Indonesiasenris sepertinya menihilkan atau menghilangkan dampak (yang menurut fasseur positif walaupun tidak disebutkan secara terang-terangan) lain dari tanam paksa. Secara sederhana dapat dicontohkan bagaimana sejarawan Indonesiasentris memandang bahwa sistem tanam paksa merupakan prakte eksploitasi, yaitu dari penafsiran Cultuur Stelsel (Cultivation System) yang ditafsirkan menjaddi tanam paksa, pemilihan diksi kata yang seolah-olah mengkultuskan bahwa emerintah colonial merupakan subjek pemaksa dan masayarakat pedesaan Jawa merupakan korban yang menderita dari sistem yang diterapkan oleh pemerintah kolonial ini. Tulisan Fasseur ini seolah-olah menjadi penyeimbang bagi narasi-narasi dekonstruksi Indonesiasentris mengenai tanam paksa, namun bisa juga menjadi sebuah sumber perdebatan baru yang mungkin saja terjadi (?).  
Permasalahan yang kemudian muncul akibat adanya dua perspektif berbeda yang memandang sistem tanam paksa menurut saya ialah kembali mempertanyakan konsep kolonialisme. Mengapa konsep kolonialisme tersebut patut dipertanyakan, seperti fakta atau realitas yang telah diungkapkan oleh Fasseur bahwa secara garis besar implikasi dari penerapan tanam paksa ialah adanya perubahan ekonomi yang sangat pesat di Jawa, sepertinya masuknya sistem uang dan modal serta terbentunya desa-desa baru. Sekali lagi apa yang dituliskan oleh Fasseur ini seolah-olah menghancurkan mitos yang dinarasikan oleh sejarawan Indonesiasentris bahwa sistem tanam paksa merupakan sistem eksploitasi terhadap masyarakat pedesaan jawa yang tidak berperikemanusiaan dan merugikan mereka. Akhirnya muncul suatu pertanyaan besar mengenai konstruksi narasi tanam paksa atau Cultuur Stelsel, “Apahkah sistem tanam paksa merupakan bentuk kolonialisme?” mengingat sistem tersebut ternyata juga mampu meningkatkan perekonomian Jawa dan merubah Jawa hampir secara keseluruhan di bidang sosial, walaupun tidak dapat dielakkan adanya realita bahwa sebagaian masyarakat pedesaan Jawa ikut menderita (bahaya kelaparan, pajak yang semakin tinggi, ekploitasi oleh elit lokal) akibat sistem tersebut. 

   

Sumber Bacaan Pendukung:
Furnivall, J.S. Hindia Belanda: Studi Tentang Ekonomi Majemuk. Terj. Samsudin Berlian. Jakarta: Freedom Institute, 2009.
Lindblad, J. Thomas (ed). Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru. Terj. Bambang Purwanto dan Arief Rohman. Jakarta: Pustaka LP3ES. 2000

Minggu, 28 Oktober 2012

Buku Baru! Industri Minyak Balikpapan Dalam Dinamika Kepentingan Sejak Pendirian Hingga Proses Nasionalisasi

Bismillah, Segera terbit:

Judul Buku : Industri Minyak Balikpapan Dalam Dinamika Kepentingan Sejak Pendirian Hingga Proses Nasionalisasi
Tebal Buku : XX + 163 Halaman
Ukuran : 14 Cm X 21 Cm
Penerbit : UM Press
Pengarang : AKhmad Ryan Pratama
Editor : La Ode Rabani, M.Hum
Pengantar : Dr. Purnawan Basundoro
Supported by PT Pertamina (Persero) Refinery Unit V Balikpapan

Sinopsis :


Minyak bumi menjadi benda yang saat ini paling dicari, karena keberadaannya terkait erat dengan mobilitas manusia. Sejak kendaraan bermotor menggantikan alat transportasi hewan, minyak bumi seolah-olah tidak bisa dipisahkan dengan keseharian manusia. Kedudukan kritis minyak bumi dalam keseimbangan energi dunia serta ketidakmerataan distribusi sumber-sumbernya telah menyebabkan minyak bumi tampil sebagai suatu jenis komoditi yang sangat penting baik secara ekonomis maupun politis.
Adanya penemuan sumber minyak di Konsesi Mathilde yang terletak di sekitar teluk Balikpapan pada awal abad XX telah menarik perusahaan minyak internasional untuk mengadakan kegiatan eksploitasi. Sehingga dibangunlah instalasi penyulingan minyak di teluk Balikpapan untuk mengolah minyak mentah yang telah ditemukan. Seiring berjalannya waktu industri minyak di Balikpapan mulai mengalami perkembangan pesat yang ditandai dengan peningkatan jumlah hasil produksi minyak. Pada tahun 1935 kapasitas produksi kilang minyak BPM di Balikpapan sebesar 35.000 barrel per hari. Kapasitas produksi tersebut membuat kilang minyak BPM di Balikpapan menempati posisi kedua terbesar di Hindia Belanda. Karena posisi yang strategis itu Jepang berusaha menguasai kilang minyak Balikpapan sebelum melanjutkan penyerbuannya ke pulau Jawa. Setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah Indonesia mulai melakukan nasionalisasi kilang minyak Balikpapan untuk menjaga kedaulatan energi nasional.
Industri minyak bumi yang telah berkembang pesat telah mengubah kota Balikpapan dari sebuah kota kecil menjadi metropolis di pinggiran timur Pulau Kalimantan dengan fasilitas yang lengkap dan modern. Kota ini tumbuh menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dari hampir seluruh daratan Kalimantan bagian timur.



Minyak bumi di Balikpapan ternyata memiliki kontribusi penting baik bagi Indonesia maupun bagi Balikpapan sendiri. Melalui buku ini pembaca diajak untuk berkelana dari tingkat yang paling lokal, yaitu Balikpapan, sampai ke tingkat nasional, bahkan internasional karena yang turut andil dalam proses pengeboran sampai pengolahan minyak melibatkan perusahaan-perusahaan internasional. Balikpapan mampu mendunia karena daerah ini menghasilkan sesuatu, yaitu minyak bumi, yang dibutuhkan oleh seluruh manusia.
[Dr. Purnawan Basundoro, M.Hum. – Sejarawan Universitas Airlangga, Surabaya]