Sabtu, 11 Mei 2013

Perdagangan Dunia dan Perkembangan Kota di Hindia Belanda: Analisis Terhadap Perkembangan Kota Semarang dan Balikpapan


Perdagangan Dunia dan Perkembangan Kota di Hindia Belanda: Analisis Terhadap Perkembangan Kota Semarang dan Balikpapan
Membahas mengenai morfologi kota-kota di nusantara pada masa kolonial merupakan salah satu kajian yang sangat menarik, terlebih dengan adanya sebuah determinan ekonomi yang sangat berpengaruh bagi terbentuknya dan berkembangnya kota-kota kolonial. Menurut saya akan sangat penting apabila kita mengetahui tahapan fase-fase perkembangan kota colonial. Mengutip apa yang dikatakan oleh Peter J.M.Nas yang mengatakan bahwa perkembangan kota-kota di Indonesia terjadi dalam empat fase, yaitu[1]:
1. Permulaan Kota Tradisional di Indonesia, perkembangan kota pada masa ini masih bertahap pada perkembangan kosmologi yang bersifat tradisional dan terikat kepada nilai-nilai sosiokultural. Terdapat dua  tipe yang dapat membedakan kota Tradisional yang ditentukan oleh letak geografis kota tersebut, yaitu apabila kota tradisional tersebut terletak di Pedalaman maka berbasiskan kepada nilai-nilai religious dan Keraton memiliki peranan yang sangat penting, dan populasi pada umunya mayoritas bersifat homogeny. Namun apabila posisi geografis kota tersebut di pesisir pantai maka kota tersebut memiliki hubungan perdagangan yang kuat dengan daerah lain, sehingga komposisi etnisnya lebih heterogen.
2. Pada tahap berikutnya ialah kota-kota tersebut berkembang menjadi kota-kota Hindia yang dimulai ketika Belanda datang ke Nusantara, dan berhasil menahklukkan kota tersebut dari penguasa local dan kemudian mulai merubah tata kotanya. Kata-kata Hindia disini digunakan oleh Wertheim untuk merujuk kepada perpaduan atau percampuran kedua kebudayaan antara Belanda dengan Hindia (pribumi). Pada mulanya kota-kota ini dibangun dengan konsep langsung dari Belanda, seperti Batavia yang dibangun berdasarkan konsep kota Amsterdam, dan kemudian mulai melakukan penyesuaian dengan menggambungkan konsep-konsep local, seperti penggunaan struktur atap yang berbentuk Piramid yang jugadigunakan pada rumah-rumah Jawa.
3. Fase ketiga ialah perkembangan menjadi kota kolonial, fase ini terjadi setelah adanya liberalisasi ekonomi di Indonesia pada tahun 1870. Adanya kebijakan tersebut menarik banyak orang-orang Belanda untuk datang ke Indonesia dan mencoba peruntungan untuk memperbaiki perekonomian. Pembangunan sarana infrasturkutur transportasi seperti pembangunan jalan, rel kereta api, pelabuhan beserta fasilitas pergudangannya semakin di gencarkan. Pembangunan tersebut dilaksanakan untuk mendukung kegiatan ekspor komoditas perkebunan pada masa itu seperti gula. Munculnya kelas-kelas kaya baik dari kalangan Eropa dan Timur Asing, serta elit-elit pribumi turut mempengaruhi perkembangan pemukiman yang berdampak pada perubahan tata kota, dimana kelas-kelas tersebut menempati bangunan berasiktektur Eropa dan menempati kawasan pemukiman sendiri yang tidak bercampur dengan perkampungan pribumi.
4.  Fase terakhir ialah perkembangan kota-kota modern yang terjadi setelah kekuasaan Kolonial mulai runtuh, permasalahan yang timbul dalam perkembangan kota-kota modern ialah perencanaan pembangunan kota yang mulai berhadapan dengan permasalahan urbanisasi yang sangat pesat. Pada masa ini kota-kota modern tersebut berusaha untuk melepaskan simbol-simbol colonial yang masih ada.      
Semarang dan Booming hasil Perkebunan
            Artikel yang ditulis oleh Theo Stevens, yang berjudul Semarang, Central Java and The World Market 1870 – 1900, memberikan suatu perspektif baru mengenai perkembangan kota Semarang. Apa yang diungkapkan oleh Stevens cukup menarik ketika Semarang mengalami perkembangan yang signifikan ketika politik ekonomi Liberal mulai diterapkan oleh pemerintah colonial. Menurut Stevens Semarang menuai berkah akibat ekonomi liberal dikarenakan Semarang dijadikan sebagai pelabuhan untuk mengekspor hasil-hasil perkebunan dari wilayah Jawa Tengah. Sehingga pembangunan infrastruktur transportasi seperti rel kereta api serta pembangunan fasilitas pergudangan di Semarang juga di prioritaskan, untuk menganggkut hasil-hasil perkebunan dari wilayah pedalaman.
            Adanya peningkatan perekonomian tersebut akhirnya juga menimbulkan kelas-kelas borjuis baru yang terdiri dari orang-orang Eropa dan Tionghoa, dimana mereka tinggal dikawasan khusus di semarang yang dapat diliohat dari arsitektur bangunan yang mereka tempati, dimana gaya bangunan Eropa masih dapat terlihat mencolok dan menjadi pembeda dengan bangunan kelas menengah kebawah yang tinggal di kampong-kampung. Secara keseluruhan Steven melihat bahwa factor utama perkembangan kota di Semarang ialah karena peningkatan ekonomi setelah politik ekonomi liberal dilakukan, walaupun saya melihat masih ada determinasi lain yang belum diungkapkan.     
Balikpapan dan Booming Minyak
            Pola peningkatan pembangunan infrastruktur seperti kota Semarang juga terjadi di Balikpapan dimana kota tersebut berkembang pesat setelah minyak bumi ditemukan dan dibangunnya pusat penyulingan minyak untuk keresidenan Kalimantan Tenggara.
Keresidenan Kalimantan Tenggara merupakan salah satu daerah di luar Jawa yang mengalami perubahan komoditas ekspor. Pada awal tahun 1900an komoditas utama dari keresidenan Kalimantan Tenggara ialah getah pertjah, rotan, dan tembakau. Munculnya minyak bumi yang merupakan komoditas baru telah menggeser posisi getah pertjah sebagai komoditas ekspor utama dari Kalimantan Tengara. Kondisi ini berlangsung pada awal tahun 1910 hingga menjelang Perang Dunia II. Produksi Minyak bumi baik yang telah diolah ataupun masih berupa minyak mentah mampu memberikan kontribusi rata-rata lebih dari 50% dari nilai total ekspor Kalimanatan Tenggara. 
            Pusat penyulingan minyak mentah di Kalimantan Tenggara terletak di Balikpapan. Kilang tersebut menyuling minyak yang berasal dari daerah-daerah konsesi minyak di sekitar Balikpapan. Pada awalnya terdapat 3 konsesi yang menyuplai kebutuhan minyak mentah untuk disuling di kilang minyak Balikpapan. Ketiga konsesi tersebut ialah konsesi Mathilde yang terletak di sekitar teluk Balikpapan, konsesi Louise yang terletak di daerah Sanga-Sanga sebelah selatan Samarinda, dan konsesi terakhir ialah konsesi Nonny yang terletak di sebelah timur konsesi Mathilde.
Pembuatan penampungan serta penyulingan minyak segera dilakukan di sekitar teluk Balikpapan untuk menampung hasil produksi minyak mentah dari lapangan-lapangan minyak di daerah Balikpapan dan Sanga-Sanga. Penggabungan antara Shell dengan Royal Dutch menyebabkan proses produksi dan pengilangan di Balikpapan diserahkan kepada anak perusahaan Royal Dutch Shell yaitu BPM. Peningkatan permintaan minyak setelah Perang Dunia I berimbas pada peningkatan produksi di kilang minyak Balikpapan. Peningkatan produksi dilakukan dengan membangun jaringan pipa minyak dari kilang minyak Balikpapan hingga lapanga-lapangan minyak yang berada di daerah Samboja dan Sanga-Sanga.
Pembangunan fasilitas kilang minyak juga dilakukan seperti penambahan serta modernisasi mesin-mesin destilasi untuk menghasilkan produk minyak dengan kualitas yang semakin baik. Infrastruktur pendukung industri minyak juga mulai ditingkatkan, seperti adanya penambahan fasilitas pergudangan di pelabuhan,  pembangunan jalur telegram, perluasan pemukiman pekerja minyak beserta fasilitas pendukungnya, adanya pembangunan sarana transportasi baik itu berupa jalan, lapangan terbang serta pembangkit listrik. Pembangunan berbagai infrastruktur pendukung industri minyak tersebut menyebabkan wilayah Balikpapan tumbuh sebagai salah satu wilayah yang ramai di Kalimantan Timur.
Konklusi
            Perkembangan kota-kota kolonial setelah terjadinya liberalisasi ekonomi di Hindia Belanda setelah tahun 1870 memperlihatkan perkembangan yang sangat signifikan, seperti meningkatnya pembangunan infrastruktur transportasi yang berhubungan dengan perdagangan internasional. Timbulnya pemukiman elit-elit eropa, timur asing dan pribumi yang memarginalkan wilayah pemukiman mereka dari kampong-kampung pribumi yang mayoritas dihuni oleh pedagang dan tuan tanah pemilik kebun. Pemukiman elit tersebut timbul sebagai akibat dari kemampanan ekonomi yang mereka dapatkan akibat perdagangan internasional. Namun apa yang terjadi di Balikpapan sedikit berbeda walau terjadi pola pemukiman yang sama, dimana elit-elit eropa menghuni pemukiman yang terpisah dari kampong-kampung pribumi namun para penghuni pemukiman elit tersebut sebagaian besar merupakan pegawai-pegawai tinggi perusahaan BPM di Balikpapan.
            Terdapat kesamaan yang terjadi dengan kedua kota tersebut, yaitu bagaimana perekonomian Semarang dan Balikpapan, yaitu kedua kota tersebut memiliki pondasi ekonomi dengan menghubungkan kegiatan perekonomian mereka dengan perekonomian dunia, sehingga ketika terjadi depresi ekonomi di tahun 1930 kedua kota tersebut juga cukup terpengaruh dengan adanya kemunduran ekonomi tersebut, dimana mulai timbulnya pengangguran akibat pabrik-pabrik berhenti beroperasi dan harga-harga komoditas pokok yang mulai naik, sehingga timbullah inflasi yang cukup tinggi.   
Sumber Bacaan
Nas, Peter.J.M. The Indonesian City: Studies in Urban Development and Planning. Dordrecth: Floris Publication, 1986. [Verhandelingen KITLV 117]
Pratama, Akhmad Ryan. Industri Minyak Balikpapan Dalam Dinamika Kepentingan Sejak Pendirian Hingga Proses Nasionalisasi. Malang: Penerbit Univ Neg Malang, 2012.


[1] Peter J.M. Nas. The Indonesian Cities: Studies in Urban Development and Planning. (Dordrecht: Foris Publication, 1986). [Verhandelingen KILTV 117], hlm. 5 – 13.