Rabu, 12 Januari 2011

Campur Tangan Politik Dalam Kebijakan Keluarga Berencana di Indonesia


Pendahuluan
            Tulisan ini berusaha untuk mengulas artikel yang ditulis oleh Terence H. Hull, yang berjudul The Political Framework for Family Palnning in Indonesia: Three decades of Development[1]. Dalam tulisan yang mengkaji mengenai transisi kebijakan keluarga berencana, dimana setiap pemimpin yang berkuasa memiliki orientasi serta arah kebijakan keluarga berencana yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut tercipta karena perbedaan sudut pandang dalam menempatkan jumlah penduduk (populasi) sebagai objek atau faktor penunjang dalam tercapainya tujuan pembangunan sosial. Pada masa orde lama, kebijakan keluarga berencana kurang diperhatikan, soekarno menganggap bahwa jumlah penduduk yang besar merupakan asset Negara yang sangat penting, sehingga ia tidak menganjurkan adanya program keluarga berencana. Namun kontradiksi kebijakan itu terjadi ketika soeharto naik, dan orde baru dibawah kepemimpinannya menganjurkan bahkan mewajibkan (untuk kalangan PNS) untuk setiap keluarga mengikuti program KB.
Dinamika transisi perubahan kebijakan Keluarga Berencana  dari rezim ke rezim merupakan suatu fenomena yang menarik dalam kajian sejarah demografi, dan terlebih apabila fenomena tersebut dihubungkan dengan kondisi lonjakan pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini yang sangat pesat[2].

Lonjakan Penduduk Indonesia Mengkhawatirkan
Keluarga Berencana atau disingkat KB merupakan program yang ada di hampir setiap Negara berkembang, termasuk Indonesia, program ini bertujuan untuk mengontrol jumlah  penduduk dengan mengurangi jumlah anak yang dilahirkan oleh perempuan usia 15- 49 tahun, yang kemudian disebut dengan angka kelahiran total atau total fertility rate (TFR). dengan pengaturan jumlah anak tersebut diharapkan keluarga yang mengikuti program ini dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas kehidupan mereka
            Penerapan keluarga berencana biasanya dilakukan pada saat pemerintah kurang mampu untuk mengimbangi tingkat laju pertumbuhan penduduk, dengan kebutuhan serta fasilitas yang dapat menjamin kesejahteraan penduduknya. Sebenarnya jumlah penduduk yang besar dapat menjadi potensi penggerak yang kuat jika penduduknya berkualitas[3]. Namun potensi dari jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar kurang mampu dioptimalkan oleh pemerintah, hal ini terlihat dari daya saing Indonesia yang masih tertinggal jauh dibandingkan dengan Negara lain, bahkan negara-negara Afrika. Berdasarkan data Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), indeks pembangunan manusia Indonesia pada tahun 2010 menempati posisi ke-108 dari 169 negara, dan posisi keenam dari negara-negara di ASEAN[4].  Selain itu banyaknya jumlah penduduk yang tidak diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan serta fasilitas, menimbulkan berbagai macam persoalan sosial, mulai dari meningkatnya angka kriminalitas, pemukiman kumuh, kemacetan, kerusakan lingkungan, persaingan yang ketat dalam memperoleh lapangan pekerjaan, hingga pelayanan kesehatan yang buruk.

Gambar. Grafik Tren Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia.LPP Indonesia membesar selama 10 tahun terakhir, padahal 20 tahun sebelumnya selalu mengecil.
                      (Sumber: Statistik BPS, dalam Kompas, 10 Januari 2010)                     
           
Distribusi penduduk pun kurang merata, luas dari pulau Jawa dan Madura yang kurang dari 7 persen dari total luas daratan Indonesia, masih harus menampung 57,64% atau sekitar 136 juta jiwa penduduk Indonesia[5]. Peningkatan jumlah penduduk yang sangat pesat ini disebabkan program Keluarga Berencana kurang mendapat prioritas dari pemerintah, baik itu pemerintah pusat dan daerah. Hal tersebut terlihat dari pemotongan jumlah anggaran bagi program Keluarga Berencana, serta setelah orde baru runtuh kementrian yang menangani kependudukan ditiadakan, sehingga terjadi kesulitan berkoordinasi dengan kementrian lain apabila terjadi permasalahan penduduk[6].
Selain itu sistem pergantian kepemimpinan politik setiap 5-10 tahun membuat pemimpin lebih fokus dalam program jangka pendek demi menunjang keberlangsungan kekuasaan, hal tersebut tidak sejalan dengan hasil program kependudukan yang dampaknya baru dirasakan 20-30 tahun kemudian.[7]

Pengendalian Penduduk  Pra Proklamasi Kemedekaan
Kebijakan mengenai kependudukan sebenarnya sudah dimulai antara tahun 1920an dan 1930an, pada masa itu mulai terjadi pembatasan jumlah kelahiran, perdebatan tersebut terjadi di benua eropa, dan Amerika. Tidak terkecuali Hindia Belanda. Berkembangnya populasi yang sangat cepat di Jawa sebenarnya sudah dipredikasi pada tahun 1930, setelah diadakan sensus pada tahun 1930. Permasalahan penduduk di pulau Jawapun mulai terjadi, dimana menurut vandenbosch jumlah lahan yang telah diekploitasi untuk keperluan pertanian telah mencapai batasnya. Upaya untuk mengurangi angka kelahiran sebenarnya sudah disuarakan oleh van Valkeburg, namun sangat disayangkan bahwa pendapatnya kurang didengar, namun ia tetap gigih untuk memperjuangkan hal tersebut.
Berkembangnya jumlah penduduk yang sangat cepat merupakan implikasi dari adanya industrialisasi yang mulai digalakkan pemerintah Hindia Belanda. Pembangunan Industrialisasi dan usaha perkebunan tersentralkan dipulau Jawa, ketimbang pulau-pulau di luar Jawa. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa distribusi penduduk terbesar dari zaman kolonial hingga pasca proklamasi kemerdekaan tetap berada di pulau Jawa. Distribusi penduduk yang tidak merata juga menimbulkan beberapa persoalan sosial dan ekonomi[8].
            Upaya untuk melakukan kontrasepsipun sebenarnya sudah dilakukan, akan tetapi pada masa kolonial upaya tersebut terhambat oleh regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial. Pada masa itu pemerintah kolonial melarang adanya publikasi atau periklanan ala-alat kontarsepsi. Sehingga hanya sedikit alat-alat kontrasepsi yang diketahui oleh penduduk. Selain itu harga alat-alat kontrasepsi yang mahal, serta moralitas agama turut menghambat adanya program keluarga berencana, sehingga angka kelahiran tetap saja tinggi.
            Perang dunia ke dua juga telah menggangu isu-isu keluarga berencana dan kesehatan reproduksi, karena pada massa tersebut  pemerintah kolonial lebih terfokus untuk menghadapi ancaman serbuan Jepang ke Hindia Belanda.
Orde Lama dan Baby Boom
Setelah Hindia Belanda berhasil dikuasai dengan mudah, seluruh instansi kolonial di rombak total oleh pemerintah pendudukan Jepang, termasuk adanya kerjasama pemerintah pendudukan Jepang dengan para nasionalis Indonesia.. Sehingga Belanda mengalami kesulitan untuk berkuasa kembali ketika Perang Dunia berakhir, karena Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannnya. Pemerintahan Soekarno yang dimulai pada tahun 1945 memunculkan pemerintahan yang baru, atau disebut dengan orde lama.
Awal pemerintahan Soekarno mendapatkan suatu tantangan untuk memulihkan kembali perekonomian yang hancur, dan yang paling penting ialah usaha untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari tangan Belanda, yang ingin kembali berkuasa dengan melakukan dua kali agresi ke Indonesia, dan memecah belah persatuan dengan mendirikan negara boneka. Selain itu pemerintahan Soekarno juga disibukkan dengan konflik internal, yang terjadi di tubuh militer, serta pemberontakan-pemberontakan separatis.
Adanya  situasi yang tidak kondusif serta kestabilan politik pada masa-masa awal pemerintahan Soekarno membuat program pemerintahan mengenai keluarga berencana menjadi tidak dapat diwujudkan, bahkan pada tahun 1950 Soekarno tidak memiliki gambaran tentang konsep keluarga berencana.
Pada waktu yang sama, sejumlah negara berkembang mulai mengakui masalah tentang tingginya tingkat pertumbuhan penduduk yang mengacu pada perencanaan pembangunan, dan tingginya tingkat kesuburan yang juga mengacu pada kesehatan ibu dan anak. India dan China misalnya mengeluarkan kebijakan keluarga berencana pada tahun 1953 dengan tujuan untuk mengurangi tingkat kesuburan dan pertumbuhan.
Walaupun India dan China telah mengeluarkan kebijakan program keluarga berencana, namun kondisi tersebut tidak berlaku di Indonesia. Karakteristik Soekarno yang berani, membuat ia menolak beberapa saran dari pemerintah asing khususnya negara-negara barat utuk tetap tidak melakukan program keluarga berencana.
Seperti yang dialami oleh Louis Fischer, dimana ia mengkritik kebijakan Soekarno yang tidak melakukan pengendalian tingkat kelahiran. Hal tersebut ia ungkapkan ketika mereka mengunjungi kompleks kumuh militer, lingkungan miskin, dan desa-desa di Jawa, Bali, dan Sulawesi. Setelah melihat realita tersebut Fischer menemukan kemiskinan merupakan sesuatu ancaman serius, karena tercermin dalam keletihan para ibu muda dengan lima, delapan, atau bahkan tiga belas anak. Fischer menyarankan agar Soekano mlakukan usaha pengendalian penduduk, dan melengkapi rakyatnya dengan rumah serta pendidikan yang lebih baik.
Namun saran dari Fischer itu malah ditolak oleh Soekarno. Fischer tidak mampu meyakinkan Soekarno dengan menggunakan argumen pada hubungan antara pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi, tetapi justru Soekarno dapat menerima argumen untuk jarak kelahiran, sebagai upaya untuk melindungi kesehatan ibu dan mengurangi beban keluarga. “Tetapi”, presiden juga mengatakan, “jangan menulis bahwa saya mendukung pembatasan kelahiran.  Soekarno malah memiliki pendapat sebaliknya, bahwa adanya pengendalian penduduk merupakan indikasi adanya penurunan moralitas yang ia temukan dalam masyarakat barat. Soekano  justru beranggapan  kepada wanita yang memiliki anak banya tersebut sebagai model kekuatan, kecantikan, dan ketahanan.
Soekarno juga beranggapan bahwa Indonesia tidak perlu kebijakan mengenai pembatasan kelahiran, hal tersebut diungkapkannya berulang kali dalam pendapatnya mengenai pengendalian populasi:
“Kita tidak seharusnya memiliki kontrol kelahiran di sini, solusi saya lebih mengeksploitasi tanah, karena jika Anda mengeksploitasi seluruh tanah di Indonesia Anda dapat memberi makan 250 juta orang, dan saya tahu saya hanya punya 103 juta. itu adalah presiden Afganistan Mohammad Ayub Khan yang melihat begitu banyak anak di Indonesia, mengatakan: Soekarno, saya gemetar ketika saya melihat anak-anak. Anak-anak membuat masalah. Ya, negara Anda yang miskin, kataku. di negara saya semakin banyak semakin baik”.
T: Bagaimana anda menggambarkan keadaan Indonesia 20 tahun mendatang?
J: (tertawa).. ooh. Negara terkaya di dunia. (Khrisner 1964:84)

Pernyataan tersebut  melihat bahwa dalam pemerintahan orde lama, Soekarno merupakan seorang yang pro-natalis dan anti terhadap keluarga berencana. Serta satu hal yang harus diketahui bahwa ternyata optimisme Soekarno terhada jumlah penduduk yang besar dengan peningkatan pembangunan ekonomi yang akhirnya mampu mensejahterahkan rakyatnya ternyata meleset.

Orde Baru dan Angin Perubahan Kebijakan Kependudukan
Pada tahun 1965 terjadi kudeta yang disebut G 30 S dan aksi penolakan terhadap PKI. Peristiwa-peristiwa tersebut akhirnya berujung dengan turunnya Soekarno dari tampuk kepemimpinan. Selain itu muncullah Soeharto dan orde barunya yang akan membawa angin perubahan dalam kebijakan kependudukan di Indonesia.
Soeharto yang sangat pro barat memiliki kebijakan yang berbeda dengan Soekarno, dalam hal kependudukan pun Soeharto mendapat bantuan dari USAID dan UNFPA. Sehingga program kebijakan kependudukan Soeharto berasal dari saran-saran negara barat. Selain itu Soeharto juga berhasil mengatasi hambatan berupa moralitas agama, yang seperti diketahui moralitas agama merupakan salah satu hal yang mempengaruhi lancar atau tidaknya program pengendalian penduduk.  Dalam hal ini MUI (Majelis Ulama Indonesia) membuat suatu fatwa atau resolusi yang intinya mengizinkan adanya kontrasepsi dan mendukung kebijakan pemerintah tentang pengendalian penduduk. Suatu hal yang sangat fenomenal, mengingat gerakan moralis agama merupakan tantangan terbesar bagi kebijakan pengendalian penduduk. Seperti yang diketahui bahwa di Philipina moralias agama menentang keras konsep pengendalian pendudukan (Kontrasepsi) dengan kelembagaan gereja katolik sebagai garda terdepan, dimana gereja Katolik  memiliki pengaruh yang sangat besar di masyarakat. Akibatnya, kebijakan pengendalian penduduk di Philipina kurang diperhatikan, hal ini terlihat dengan minimnya fasilitas layanan untuk kesehatan reproduksi.
Orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto berhasil mengatasi beberapa hambatan terbesar, dan sukses untuk merangkul kaum Moralis Agama (MUI), selain itu Soeharto menandatangani Pimimpinan Dunia 'Deklarasi Kependudukan pada tahun 1967 sebagai bukti komitmennya untuk mengurangi jumlah laju pertumbuhan penduduk. Setahun kemudian Soeharto membentuk Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN), Pada tahun 1970 terjadi peningkatkan status dari LKBN menjadi dewan koordinasi (BKKBN) dengan ketua yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Peran sentral Soeharto dalam pembentukan program keluarga berencana, dan dukungannya yang teguh dalam pelaksanaannya, diakui secara internasional dengan pemberian award 1989 dari Penduduk PBB. Sementara tidak ada keraguan bahwa Soeharto membuat kontribusi yang luar biasa untuk program ini, hal itu dilakukan sebagai upaya penting dalam memberikan wawasan bagi mereka yang berada dalam kesulitan nyata serta sebagai jawaban untuk mengatasi penolakan serta permusuhan terhadap keluarga berencana.

Konklusi
            Sebagai penutup dapat ditarik benang merah, bahwa ternyata pergantian penguasa juga diikuti dengan pergantian kebijakan, khususnya kebijakan yang berkaitan dengan masalah kependudukan. Dengan mempelajari kebijakan kependudukan dari setiap rezim atau pihak yang berkuasa dapat dilihat orientasi kebijakan kependudukan yang berbeda-beda, tergantung visi dan ideologis  pembangunan pada masa itu. Kebijakan-kebijakan yang berbeda-beda dari zaman kolonial hinga pasca proklamasi kemerdekaan tersebut, akhirnya sangat mempengaruhi strukrur kependudukan Indonesia saat ini. Seperti optimisme Soekarno yang bangga dengan jumlah penduduk yang besar dan ia dapat mensederhanakan berbagai solusi permasalahan kependudukan hanya dengan mengintesifkan ekploitasi tanah, namun optimismenya malah menjadi suatu petaka. Ketika akhirnya jumlah penduduk Indonesia yang hampir 240 juta jiwa ini malah menjadi beban bagi pemerintah, dan merupakan hambatan terbesar bagi pembangunan nasional.
            Mempelajari sejarah demografi dapat digunakan sebagai kunci untuk memahami perubahan yang terjadi di masyarakat. Selain itu salah satu fungsi mempelajari sejarah demografi ialah digunakan untuk memprediksi kondisi penduduk di masa yang akan datang.  Sehingga dengan memahami perubahan di masayarakat, dapat dicari solusi-solusi untuk mengatasi beberapa problem kependudukan yang ada di masyarakat.


[1] Lihat Firman Lubis, Two is Enough Family Planning in Indonesia Under The New Order, (Leiden: KITLV Press, 2003)
[2] Lihat, Kompas, 10 Januari 2011
[3] Dikutip dari komentar Sukamdi Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM dalam Kompas, 10 Januari 2011.
[4] Kompas, 10 Januari 2011
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Lihat artikel yang ditulis Jami Mackie, Sejarah Demografi Regional sebagai Petunjuk untuk Memahami Perubahan Sosio Ekonomi: Studi Kasus Keresidenan Surabaya, 1890 – 1990. Dalam, J. Thomas Linblad, (Ed), Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantnagan Baru, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2000) Terj. Arief Rohman dan Bambang Purwanto.